Vonis Ringan Picu Amarah, Koalisi Desak Revisi UU Peradilan Militer

revisi UU Peradilan Militer
0 0
Read Time:3 Minute, 39 Second

Retconomynow.com – 24 Oktober 2025 – Desakan untuk segera melakukan revisi UU Peradilan Militer kembali menggema dengan kuat. Faktanya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan hari ini mendesak DPR dan pemerintah untuk tidak lagi menunda perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Tuntutan ini meledak setelah rentetan vonis ringan yang dijatuhkan kepada para prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum. Akibatnya, publik kembali mempertanyakan asas persamaan di hadapan hukum dan menagih janji reformasi sektor keamanan yang telah lama tertunda.

Dua Kasus Pemicu: Diskon Hukuman dan Vonis yang Melukai Keadilan

Kemarahan publik ini bukanlah tanpa alasan. Justru, desakan ini dipicu oleh dua putusan pengadilan militer kontroversial yang terjadi dalam waktu berdekatan. Pertama, adalah keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah vonis bagi prajurit TNI AL dalam kasus penembakan bos rental mobil. Sebelumnya, pengadilan tingkat kasasi telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Namun, MA membatalkan putusan tersebut dan menggantinya dengan hukuman penjara 15 tahun.

Kasus kedua yang tak kalah memilukan datang dari Pengadilan Militer I-02 Medan. Perwakilan koalisi, Al Araf, mencontohkan kasus Sersan Satu Riza Pahlivi. Prajurit TNI ini terbukti melakukan penganiayaan terhadap seorang pelajar hingga tewas. Akan tetapi, pengadilan militer hanya menjatuhkan vonis kurungan 10 bulan penjara. Tentu saja, vonis ini memicu kemarahan. Publik menganggapnya tidak sepadan, bahkan lebih ringan dari vonis untuk kasus tindak pidana ringan. “Putusan seperti ini menunjukan masih kuatnya praktik impunitas,” ujar Al Araf.

Desakan Koalisi: Adili Militer Pelaku Pidana Umum di Peradilan Sipil

Berangkat dari dua kasus tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa akar masalahnya terletak pada sistem peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, menurut perwakilan koalisi lainnya, Muhammad Isnur, solusi tambal sulam tidak lagi cukup. Satu-satunya jalan adalah melalui revisi UU Peradilan Militer.

“Revisi UU Peradilan Militer adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi,” kata Isnur. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa setiap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum—seperti pembunuhan, penganiayaan, atau pencurian—harus diadili di peradilan umum, bukan di peradilan militer. Menurutnya, langkah ini sangat krusial untuk dua alasan utama. Pertama, untuk menjamin adanya kesetaraan di hadapan hukum. Kedua, untuk mencegah adanya intervensi dari atasan atau solidaritas korps yang berpotensi memengaruhi independensi hakim militer.

Sikap DPR: Antara Komitmen Abstrak dan Keengganan Bertindak

Lalu, bagaimana sikap DPR menanggapi desakan krusial ini? Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, memberikan jawaban yang normatif. Ia mengatakan, pada prinsipnya, DPR senantiasa mendorong agar setiap proses hukum berjalan secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Termasuk yang melibatkan prajurit TNI.

Namun, politisi Partai Golkar itu tidak menjawab secara lugas saat ditanya mengenai desakan spesifik untuk melakukan revisi UU Peradilan Militer. Sebaliknya, ia hanya memberikan pernyataan umum bahwa TNI, sebagai institusi strategis, diharapkan mampu menjadi suri tauladan. “Termasuk dalam menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia,” kata Dave. Sikap yang terkesan “mengambang” ini tentu mengecewakan para pegiat reformasi. Hal ini seolah menunjukkan adanya keengganan dari pihak legislatif untuk menyentuh isu sensitif ini.

Membongkar Putusan MA: Diskon Hukuman di Balik Tragedi

Untuk memahami kedalaman luka keadilan, kita perlu melihat kembali detail putusan MA dalam kasus penembakan bos rental mobil. Pada 2 September lalu, MA membatalkan vonis seumur hidup bagi Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli. Selain mengubah hukumannya menjadi 15 tahun penjara, putusan itu juga memerintahkan keduanya untuk membayar restitusi atau ganti rugi kepada keluarga korban.

Akan tetapi, hukuman pemecatan dari dinas militer tetap berlaku bagi ketiganya, termasuk terdakwa lain, Sersan Satu Rafsin Hermawan, yang hukumannya juga dikurangi. Meskipun ada hukuman tambahan berupa restitusi, diskon hukuman badan yang sangat signifikan dari seumur hidup menjadi 15 tahun inilah yang menjadi sorotan utama.

Urgensi Reformasi: Ujian Supremasi Hukum di Indonesia

Pada akhirnya, desakan untuk melakukan revisi UU Peradilan Militer ini lebih dari sekadar respons terhadap beberapa kasus. Justru, ini adalah sebuah ujian fundamental bagi supremasi hukum di Indonesia. Konstitusi secara tegas menjamin bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, mempertahankan sistem peradilan ganda untuk pidana umum berpotensi mencederai amanat konstitusi tersebut.

Reformasi sektor keamanan adalah salah satu agenda utama yang belum tuntas sejak era Reformasi 1998. Kini, bola panas itu berada di tangan DPR dan pemerintahan yang baru. Akankah mereka memiliki keberanian politik untuk menuntaskan pekerjaan rumah sejarah ini? Ataukah mereka akan kembali menghindar, membiarkan praktik impunitas terus berjalan, dan membiarkan rasa keadilan publik terus terluka? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan arah reformasi hukum di Indonesia untuk tahun-tahun mendatang.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %