Retconomynow.com – 9 November 2025 – Suasana khidmat terasa menjelang tengah malam. Presiden Prabowo Subianto memimpin Upacara Ziarah Nasional dan Renungan Suci di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Momen pada Minggu (9/11/2025) ini menjadi refleksi mendalam bagi bangsa. Acara ini berlangsung tepat menjelang peringatan Hari Pahlawan. Presiden menggunakan kesempatan ini untuk mengenang babak paling heroik sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Berdiri di atas altar Tugu Garuda Pancasila, Presiden Prabowo menegaskan bahwa mereka yang gugur adalah pahlawan sejati. Acara renungan suci ini dihadiri oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Momen ini menjadi pengingat kolektif atas pengorbanan luar biasa. Pengorbanan yang menjadi fondasi kemerdekaan bangsa. Presiden secara khusus menyoroti keberanian para pejuang. Dengan persenjataan terbatas, mereka berani menantang kekuatan militer pemenang Perang Dunia II.
Makna Mendalam Peringatan Hari Pahlawan
Presiden Prabowo memberikan pengantar sebelum memimpin sesi mengheningkan cipta. Ia secara spesifik menyebut konteks sejarah yang dihadapi para pahlawan. “Pada tahun 1945, 10 November, para pahlawan telah dengan berani melawan kekuatan asing yang begitu besar, terutama kekuatan Inggris, pemenang Perang Dunia II.” Demikian kata Presiden Prabowo, dilansir dari Antara. Ia menekankan bahwa perlawanan tersebut adalah murni untuk mempertahankan kedaulatan.
Lebih lanjut, Presiden menjelaskan bahwa pengorbanan para pejuang bukanlah tanpa hasil. “Dengan perlawanan, pengorbanan yang begitu besar, mereka telah mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia,” tambahnya. Ini adalah penegasan bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 harus dibayar lunas. Kemerdekaan itu dibayar dengan darah dan nyawa di berbagai palagan. Surabaya adalah puncaknya. Oleh karena itu, renungan suci di TMP Kalibata bukan sekadar ritual. Ini adalah upaya untuk menyerap kembali api semangat. Semangat yang pernah berkobar 80 tahun silam.
Amanat Presiden: Jangan Lupakan Sejarah Pertempuran Surabaya
Presiden Prabowo lantas mengajak seluruh peserta upacara mendoakan arwah para pahlawan. Peserta ini mencakup jajaran Kabinet Merah Putih, pimpinan lembaga negara, serta pimpinan TNI dan Polri. Amanatnya jelas: bangsa ini tidak boleh amnesia terhadap sejarahnya sendiri. “Marilah kita mengenang arwah dan jasa para pahlawan yang telah gugur membela kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia,” seru Presiden.
Ia secara khusus mendedikasikan doa. Doa ini bagi “mereka-mereka yang gugur dalam perlawanan terhadap kekuatan asing yang mendukung penjajah kembali bangsa Indonesia oleh bangsa asing.” Peringatan keras pun disampaikannya. “Janganlah kita sekali-sekali melupakan jasa mereka, kepahlawanan mereka,” tegas Presiden Prabowo. Melupakan sejarah, dalam konteks ini, adalah sebuah pengkhianatan. Ini sama dengan mengkhianati esensi dari kemerdekaan itu sendiri.
Kronologi Singkat Pemicu Pertempuran Surabaya
Penting untuk meninjau kembali konteks sejarahnya. Ini agar kita paham mengapa Presiden Prabowo begitu menekankan peristiwa ini. Pertempuran Surabaya tidak meletus dalam ruang hampa. Peristiwa ini dipicu oleh serangkaian insiden pasca-kemerdekaan. Awalnya, pasukan sekutu Inggris (AFNEI) mendarat di Surabaya. Mereka bertugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Namun, situasi memanas ketika pasukan NICA (Belanda) turut membonceng. Hal ini memicu kemarahan rakyat.
Insiden ikonik perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato menjadi simbol perlawanan rakyat. Puncaknya adalah tewasnya pimpinan pasukan Inggris, Brigjen Mallaby, dalam baku tembak. Akibatnya, pihak Inggris mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945. Ultimatum itu menuntut seluruh pejuang Indonesia menyerahkan senjata. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah oleh para pejuang dan rakyat Surabaya. Penolakan ini kemudian memicu pertempuran dahsyat pada 10 November.
Peran Sentral Bung Tomo dan Semboyan “Merdeka atau Mati”
Ultimatum Inggris tidak menakuti rakyat. Justru, hal itu menyulut kemarahan yang lebih besar. Di sinilah peran seorang Bung Tomo menjadi vital. Melalui siaran radio, ia mengobarkan semangat perlawanan arek-arek Suroboyo. Pidatonya yang berapi-api berhasil membakar jiwa patriotisme. Ia mengumandangkan semboyan legendaris “Merdeka atau Mati!”. Pertempuran pun tak terhindarkan dan berlangsung selama kurang lebih tiga minggu. Peristiwa ini mengubah kota menjadi lautan api.
Berikut adalah petikan pidato Bung Tomo yang paling dikenang. Pidato ini menggambarkan pilihan moral para pejuang saat itu:
“Saudara-saudara rakyat Surabaya… siaplah keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau mati!”
Warisan Abadi Pertempuran Surabaya bagi Bangsa
Surabaya secara militer sempat jatuh ke tangan sekutu. Namun, perlawanan habis-habisan rakyat Indonesia mengirimkan pesan jelas kepada dunia. Pesannya: bangsa ini tidak akan dijajah kembali. Perlawanan heroik dalam Pertempuran Surabaya ini mengundang simpati internasional. Peristiwa ini juga memaksa dunia mengakui eksistensi kedaulatan Indonesia. Inilah warisan terbesar yang terus relevan hingga kini.
Amanat Presiden Prabowo di TMP Kalibata menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dengan mengenang pengorbanan di Surabaya, ia mengingatkan tantangan hari ini. Meski bentuknya berbeda, tantangan ini membutuhkan semangat juang yang sama. Renungan suci itu ditutup dengan sebuah kesadaran. Kemerdekaan adalah warisan yang harus terus dijaga, diisi, dan dipertanggungjawabkan. Ini persis seperti yang diteladankan para pahlawan di Surabaya 80 tahun lalu.
