KUHAP Baru Gen Z: Analisis Was-Was Aturan Digital dan Risiko Rule of Law

KUHAP Baru Gen Z
0 0
Read Time:4 Minute, 14 Second

Retconomynow.comJakarta, 1 Desember 2025 — Pengesahan KUHAP baru di penghujung tahun memicu gelombang kekhawatiran di kalangan Generasi Z. Generasi ini sehari-hari hidup di timeline, menciptakan meme, satire, dan komentar kritis di ranah publik. Bagi mereka, perubahan aturan soal bukti elektronik dan akses data terasa sangat personal. KUHAP Baru Gen Z menjadi simbol ketegangan antara modernisasi hukum dan kebebasan berekspresi di era digital.

Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, mengakui niat baik di balik pembaruan tersebut. Ia menyebut modernisasi bukti elektronik dan opsi penyelesaian di luar pengadilan (restorative justice) adalah tujuan utama. Namun, menurutnya, tujuan formal itu harus diikuti definisi operasional, mekanisme pengawasan, dan data publik yang jelas. Tanpa itu, pembaruan berisiko melemahkan prinsip rule of law.

“Kalau melihat dari perspektif rule of law, pembaharuan yang efektif itu harus meningkatkan kepastian hukum, akuntabilitas, dan juga perlindungan hak asasi. Ketika kewenangan diperluas tanpa kontrol yang jelas, maka pembaruan tersebut beresiko memperlemah rule of law itu sendiri,” ujar Cecep, Sabtu (29/11/2025).

Kekhawatiran Generasi Z: Ancaman Self-Censorship di Ranah Digital

Kekhawatiran Gen Z muncul dari pengalaman nyata di ranah digital. Sejumlah mahasiswa yang kami temui menunjukkan sikap yang sama: cemas soal ruang berbicara di ranah digital.

  • Kekhawatiran Speak Up: Fawwaz Mumtazy, mahasiswa Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Terbuka, menyebutkan bahwa banyak temannya mulai menahan diri untuk membuat konten kritis karena takut diinterpretasi berlebihan. “Sekarang aja banyak anak muda yang udah insecure buat speak up. Dengan aturan yang kurang jelas boundaries-nya, saya takut people will choose silence over sharing their thoughts,” ujar Fawwaz, Kamis (27/11/2025).
  • Ancaman Penyitaan Data: Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Luki Baskoro khawatir soal penyitaan perangkat. Kekhawatiran ini bukan hanya soal kehilangan HP. Melainkan, semua data pribadi yang ada di dalamnya—mulai dari draft tugas, foto, percakapan privat, hingga Direct Message (DM)—berpotensi terpapar.
  • Hilangnya Generasi Kritis: Teuku Andika, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FIB UI, mengingatkan bahwa efek dari hal tersebut adalah Indonesia kehilangan generasi yang berani bicara. Oleh karena itu, penting memahami dampak psikologis dari KUHAP Baru Gen Z.

Risiko Kebocoran Data dan Mekanisme Restorative Justice

Cecep Hidayat menegaskan risiko itu dengan tegas. Jika prosedur dan wewenang penggeledahan atau penyitaan itu tidak jelas, maka aparat dapat menyita perangkat pengguna meskipun orang tersebut bukan tersangka. Ketika perangkat pribadi menjadi target, bukan hanya postingan yang menjadi perhatian. DM, draft tugas, foto, dan percakapan privat juga berpotensi terpapar. Jelasnya, hal ini melanggar privasi secara mendasar.

Di sini muncul kekhawatiran nyata bahwa kultur meme, parodi, atau satire yang selama ini menjadi bahasa kritik anak muda, bisa terseret ke proses pidana karena tafsir yang terlalu luas. Maka dari itu, Gen Z merasa terancam untuk berekspresi secara bebas.

KUHAP baru juga menguatkan opsi restorative justice lewat pasal-pasal seperti Pasal 74A, 78, dan 79. Secara teori, penyelesaian di luar pengadilan bisa meringankan beban peradilan dan memberikan solusi yang lebih cepat. Namun tanpa transparansi dan dokumentasi publik, mekanisme ini berisiko jadi “jalan gelap” bagi pihak berkepentingan. Mereka bisa menutup kasus secara non-publik atau, lebih buruk, menjadi alat pemerasan. Cecep menekankan pentingnya perjanjian publik dan laporan yang terdokumentasi agar proses restorative justice tidak berubah menjadi praktik tertutup yang melindungi elite. Maka dari itu, kontrol publik pada proses ini sangatlah mendesak.

Arah Kebijakan Konkret Menjamin Rule of Law

Untuk mencegah semua risiko ini, Cecep menawarkan arah kebijakan yang konkret. Pertama, perlu definisi yang tegas. Definisi ini harus membedakan kritik, satire, dan konten artistik dari tindak pidana. Kedua, butuh pedoman interpretasi dan SPO (Standard Operating Procedure) serta pelatihan khusus bagi penyidik dan penuntut soal kasus digital. Tujuannya adalah menyeragamkan pemahaman.

Ketiga, wajib ada transparansi, audit independen, dan persyaratan surat perintah pengadilan sebelum akses ke data pribadi. Terakhir, log akses harus dapat diaudit. Secara teknis, Cecep menekankan prinsip data minimization (hanya mengambil data yang relevan), standar enkripsi yang kuat, audit berkala, dan sanksi tegas untuk penyalahgunaan akses. Tanpa langkah-langkah ini, peluang kebocoran data atau penyalahgunaan akses oleh aparat tetap tinggi. Dengan demikian, keberhasilan implementasi KUHAP Baru Gen Z sangat bergantung pada komitmen teknis ini.

Indikator Peringatan Dini dan Harapan Generasi Muda

Untuk mengetahui apakah implementasi berlangsung adil, Cecep menyarankan beberapa indikator yang bisa dipantau sebagai early warning signs. Indikator ini mencakup:

  • Peningkatan jumlah penyitaan perangkat tanpa dasar kuat.
  • Lonjakan kasus yang diselesaikan di luar pengadilan tanpa transparansi.
  • Banyaknya keluhan ke Ombudsman terkait praktik penyidikan digital.
  • Laporan kebocoran data.
  • Hasil survei publik tentang kepercayaan terhadap penegakan hukum.

Jika indikator-indikator itu bergerak ke arah negatif dalam 1–2 tahun pertama pasca-implementasi, berarti ada masalah serius yang harus diintervensi. Pesan para Gen Z cukup sederhana menanggapi hal tersebut, yaitu jangan membuat aturan yang membuat anak muda takut bicara. Mereka berharap pembuat kebijakan melibatkan generasi muda dalam evaluasi implementasi, memperjelas SPO aparat agar tidak multitafsir, dan memastikan ruang digital tetap menjadi ruang ekspresi yang aman. Sebab, pembaruan hukum memang perlu. Namun, kepercayaan publik tidak bisa dipaksa. Ia harus dibangun lewat transparansi dan kontrol yang jelas. Secara keseluruhan, jika tujuan modernisasi KUHAP ingin berjalan selaras dengan semangat demokrasi digital, regulasi harus hadir untuk melindungi kebebasan berbicara, bukan membuat publik merasa diawasi setiap kali mengetik komentar.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %