Retconomynow.com – 23 Oktober 2025 – Sanksi keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penggunaan jet pribadi oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sorotan tajam dari parlemen. Faktanya, kasus KPU sanksi private jet ini dianggap sebagai sebuah pelajaran yang sangat mahal bagi seluruh pejabat publik di Indonesia. Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa tindakan para komisioner KPU tersebut tidak pantas. Selain itu, ia menyoroti pentingnya sikap sederhana dan tanggung jawab dalam menggunakan anggaran negara yang berasal dari uang rakyat.
Pelajaran Berharga bagi Pejabat Publik: “Kenapa Harus Pakai Private Jet?”
BACA JUGA : Era Baru Mobnas: Istana Beri Sinyal Proyek Mobil Nasional Masuk PSN
Ahmad Doli Kurnia tidak menutupi kekecewaannya. Menurutnya, putusan DKPP ini harus menjadi sebuah cermin bagi semua pejabat, termasuk dirinya sendiri. Ia menekankan bahwa pejabat yang rakyat beri amanah harus menjalankan tugasnya dengan penuh kehati-hatian. Oleh karena itu, penggunaan fasilitas negara harus selalu wajar dan tidak berlebihan.
Ia pun melontarkan sebuah pertanyaan retoris yang menohok. “Kalau bisa naik pesawat komersial biasa, kenapa harus pakai private jet? Itu kan sesuatu yang tidak pantas,” ujar Doli. Bagi politisi Golkar ini, anggaran yang lembaga negara gunakan bersumber dari pajak rakyat. Dengan demikian, penggunaannya wajib efisien dan proporsional. “Ini jadi hikmah dan pelajaran agar ke depan tidak mengulangi hal yang sama,” katanya.
Membongkar Fakta di Balik KPU Sanksi Private Jet
BACA JUGA : “Tajam Keluar, Tumpul ke Dalam”: DPR Sentil Kejagung soal Sanksi Jaksa Korup
Untuk memahami mengapa sanksi ini dijatuhkan, kita perlu melihat kembali temuan DKPP. Putusan ini tidak hanya menyasar satu orang. Justru, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua dan empat anggota KPU RI. Mereka adalah Mochammad Afifuddin, Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz.
Dalam sidang pada Selasa (21/10), Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo membeberkan fakta mengejutkan. Ternyata, para komisioner tersebut telah melakukan 59 kali perjalanan dinas menggunakan jet pribadi selama tahapan Pemilu 2024. Bahkan, total anggaran negara yang mereka habiskan untuk fasilitas mewah ini mencapai angka fantastis, yaitu Rp 90 miliar. Lebih lanjut, DKPP mengungkap bahwa seluruh perjalanan tersebut sama sekali tidak terkait dengan distribusi logistik Pemilu. Beberapa perjalanan bahkan mereka lakukan ke destinasi yang memiliki banyak jadwal penerbangan komersial, seperti Bali dan Kuala Lumpur, Malaysia.
Ironi Kepercayaan dan Pengawasan Anggaran yang Lemah
BACA JUGA : Prabowo ke KTT APEC, Bawa Misi AI dan Demografi untuk Kawasan
Kasus ini juga membuka sebuah ironi dalam proses penganggaran. Doli mengakui bahwa selama ini, DPR memberikan kepercayaan penuh kepada KPU dan Bawaslu. Faktanya, parlemen hampir selalu menyetujui berapa pun anggaran yang penyelenggara pemilu ajukan. Alasannya, demi meningkatkan kualitas pemilu. “Waktu itu berapa pun anggaran yang mereka ajukan untuk meningkatkan kualitas pemilu, kita dukung,” kata Doli.
Akan tetapi, kepercayaan besar itu kini terasa dikhianati. “Tapi, ternyata kepercayaan itu tidak dijalankan dengan baik,” sesalnya. Yang lebih mengejutkan, Doli mengklaim bahwa Komisi II DPR sama sekali tidak pernah menerima laporan mengenai rencana penggunaan jet pribadi ini. Informasi tersebut baru mereka ketahui setelah kasus KPU sanksi private jet ini mencuat ke publik. “Kalau dari awal kami tahu ada rencana penggunaan private jet, saya yakin teman-teman Komisi II, apalagi pemerintah waktu itu,
BACA JUGA : Tom Lembong Lapor Hakim, Tuntut Akuntabilitas di Balik Vonis Gula
pasti tidak setuju,” pungkasnya.
Publik Bertanya: Cukupkah Hanya Sanksi Peringatan Keras?
Meskipun DKPP telah menjatuhkan sanksi “peringatan keras”, banyak pihak di masyarakat yang merasa hukuman tersebut tidak
BACA JUGA : Jejak Korupsi CSR: KPK Sita Mobil Mewah Terkait Legislator Heri Gunawan
sepadan. Bayangkan saja, dengan dana sebesar Rp 90 miliar yang dihamburkan untuk kemewahan, sanksinya hanyalah sebuah teguran etis. Hal ini menimbulkan persepsi adanya standar ganda. Di satu sisi, penegak hukum begitu tajam menindak kasus korupsi di luar. Namun, di sisi lain, pelanggaran etika berat yang melibatkan uang negara dalam jumlah masif seolah hanya diselesaikan di ruang sidang etik.
Kasus ini menjadi ujian bagi kredibilitas sistem pengawasan itu sendiri. Akankah ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum lain untuk mengusut potensi adanya unsur pidana atau kerugian negara? Ataukah kasus ini akan berhenti di sini? Pertanyaan-pertanyaan ini kini menggema di ruang publik, menuntut adanya akuntabilitas yang lebih dari sekadar peringatan.
Momentum Perbaikan Tata Kelola
BACA JUGA : Evaluasi Golkar: Satu Tahun Prabowo-Gibran Tunjukkan Hasil Baik, Sebagian Masih “On Progress”
Pada akhirnya, kasus KPU sanksi private jet ini harus menjadi momentum perbaikan yang fundamental. Bukan hanya bagi KPU, tetapi juga bagi semua lembaga negara. Doli berharap keputusan DKPP ini dapat memicu perbaikan total dalam tata kelola perjalanan dinas pejabat publik. Selain itu, DPR sebagai lembaga pengawas anggaran juga harus lebih cermat dan kritis. Kepercayaan memang penting, tetapi fungsi kontrol tidak boleh dilupakan. Dengan demikian, diharapkan uang rakyat benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk kemewahan segelintir pejabat.
