Retconomynow.com – (JAKARTA, 12 November 2025) – Tingginya penetrasi internet di Indonesia telah membuka kotak pandora. Di balik kemudahan akses ilmu pengetahuan, ada ancaman nyata yang mengintai anak-anak, mulai dari kekerasan, pornografi, hingga radikalisme. Kasus ledakan bom di SMA 72 Jakarta beberapa waktu lalu menjadi alarm keras. Peristiwa ini membuka mata publik bahwa fenomena Korban Bullying Dark Web kini menjadi ancaman berbahaya yang nyata. Alih-alih menjadi ruang aman, dunia maya justru menjadi akselerator bagi emosi negatif yang tidak tertangani di dunia nyata.
Data tidak berbohong. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 89 persen anak berusia 5 tahun ke atas sudah mengakses internet, mayoritas untuk media sosial. Sementara itu, laporan NCMEC 2024 mencatat angka mengejutkan 5.566.015 konten pornografi anak di Indonesia selama 2021-2024. Ini adalah lahan subur bagi risiko.
Pemerintah, tentunya, telah berupaya. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengklaim Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP TUNAS) adalah langkah serius. Bahkan, ia menyebut Indonesia sebagai negara kedua setelah Australia yang berani menerapkan regulasi penundaan akses anak, meskipun raksasa teknologi menentangnya. “Pemerintah akan mengenakan sanksi ini terhadap platform, bukan kepada ibu, bukan kepada anak,” tegas Meutya.
Regulasi Lemah dan Fenomena Korban Bullying Dark Web
Namun, di lapangan, optimisme pemerintah terkesan prematur. Direktur Eksekutif Safenet, Nenden Sekar Arum, menilai beleid itu only euforia. Ia mengkritik sistem moderasi konten di Indonesia yang masih bersifat sukarela. Menurutnya, filter konten di media sosial sangat terbatas. “Filter konten di medsos misalnya, hanya terbatas menekan fitur ‘tidak tertarik’, atau menginisiasi buat akun di aplikasi khusus anak,” ujar Nenden, Selasa (11/11/2025).
Akibatnya, enam bulan pasca aturan diterapkan, masih banyak kekosongan substansial. Nenden justru melihat pemerintah terkesan lebih sibuk mengatur privasi—seperti “mewajibkan notifikasi pelacakan di akun anak”—ketimbang memberantas bahaya nyata di ruang digital.
Algoritma: Mesin Penjerat Menuju Radikalisme
Kasus SMA 72 menunjukkan bahwa merakit bom bukanlah hal mudah. Pelaku membutuhkan waktu untuk mempelajarinya, dan di sinilah algoritma menunjukkan sisi gelapnya. “Algoritma sosmed yang memberikan apa yang pernah diakses bikin anak yang pernah mengakses konten kekerasan bisa terus mendapatkan konten serupa,” ujar Nenden.
Sekali seorang anak mengakses konten kekerasan—baik sengaja atau tidak—sistem akan mencatatnya. Kemudian, algoritma secara aktif “menyuguhi” konten serupa. Proses ini menyeret mereka ke echo chamber (ruang gema) yang pada akhirnya menanamkan paham radikal, jauh sebelum mereka perlu mengakses situs “dark web” yang kerap disebut-sebut.
KPAI: Tontonan Kekerasan Jadi Inspirasi Tiruan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah, memperkuat pandangan ini. Ia menegaskan bahwa anak-anak adalah kelompok rentan yang sangat mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat dan konsumsi.
“Dan itu sangat-sangat memberikan pengaruh yang bisa mendorong anak untuk menjadikan tontonan itu sebagai inspirasi yang kemudian oleh anak-anak ini akan ditiru, akan dilakukan sesuai atau seperti dengan yang dia tonton,” kata Margaret. Tanpa literasi digital yang memadai, anak-anak menjadi target empuk grooming digital dan eksploitasi daring. Pada akhirnya, algoritma yang semestinya mempersonalisasi pengalaman, justru menjadi jurang penjerat.
Akar Masalah: Korban Bullying Dark Web
Tentu tidak ada asap tanpa api. Fenomena Korban Bullying Dark Web menunjuk pada satu biang masalah utama: perundungan di sekolah. Pelaku peledakan SMA 72 diduga kuat mengalami bullying dari teman-temannya.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengungkap hasil pemantauan yang menunjukkan perubahan perilaku signifikan pada pelaku. Pelaku menjadi lebih tertutup dan “lebih sering mengakses konten bernada radikal di platform digital,” ungkap Aris. Ini adalah kombinasi mematikan antara emosi pribadi yang tak terkendali dan internalisasi narasi ekstrem dari dunia maya. Ini adalah manifestasi dari kegagalan sekolah sebagai ruang aman.
Kritik DPR: Kebijakan Anti-Bullying Sebatas Seremonial
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, mengkritik keras respons pemerintah yang tidak menyentuh akar. “Tapi faktanya bullying bisa berdampak serius, berbuat nekat. Ini harus cepat dicegah,” kata Abidin.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah sudah memiliki perangkat hukum lengkap, seperti Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 dan Permendikbud No 82 Tahun 2015. Namun, Abidin menilai kebijakan pemerintah hanya berhenti pada rangkaian seremonial dan insidental. Kebijakan anti-bullying hanya sebatas “membuat tim”, padahal yang diperlukan adalah pelibatan orang tua dan masyarakat.
Deteksi Dini dan Masalah Korban Bullying Dark Web
Peristiwa SMA 72, oleh karena itu, menjadi alarm serius bagi sistem pendidikan. Abidin Fikri menuntut evaluasi menyeluruh. Evaluasi ini tidak hanya dilakukan oleh Kemendikdasmen, tetapi juga Kementerian Agama dan KemenPPPA. “Saatnya evaluasi menyeluruh sistem yang ada dan harus lebih menekankan pola deteksi dini atau early warning (system),” ucapnya.
Margaret dari KPAI kembali menekankan peran krusial orang tua. Anak-anak adalah kelompok rentan karena “belum cukup punya filter yang bagus.” Oleh karena itu, kita harus mengawasi anak secara menyeluruh, tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia digital. Orang tua harus mampu memberikan pemahaman yang tepat saat anak terpapar konten negatif.
“Ketika anak-anak mengakses konten-konten yang bermuatan negatif… orang tua atau keluarga… ini mampu memberikan penguatan bahwa oh ini tontonan yang tidak baik, yang tidak boleh ditiru,” ujarnya. Pada akhirnya, mitigasi kekerasan anak membutuhkan tanggung jawab kolektif, tidak hanya membatasi akses, tetapi membangun pemahaman dari lingkungan terdekat.
