Retconomynow.com – (2 November 2025) — Pemerintah Indonesia, melalui Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta, memberikan sebuah bingkai historis terhadap langkah-langkah diplomasi internasional yang gencar dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurut Anis, keaktifan Presiden Prabowo di berbagai forum global merupakan bagian dari upaya sadar untuk menuntaskan “utang sejarah” bangsa Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Dukungan ini, tegasnya, bukan hanya sekadar amanat konstitusi atau kewajiban moral. Sebaliknya, ini adalah sebuah kelanjutan dari ruh perjuangan bangsa yang telah lahir sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955.
Pernyataan ini menempatkan kebijakan luar negeri pemerintahan saat ini dalam sebuah narasi kontinuitas sejarah yang panjang. Hal ini juga menggarisbawahi bahwa isu Palestina bukan sekadar isu kebijakan luar negeri biasa. Lebih dari itu, ia adalah sebuah pilar fundamental dalam identitas diplomasi Indonesia. Oleh karena itu, setiap langkah yang pemerintah ambil di panggung dunia dilihat sebagai sebuah cicilan untuk melunasi janji kemerdekaan yang telah digaungkan oleh para pendiri bangsa.
Akar ‘Utang Sejarah’ dari Konferensi Asia Afrika 1955
Untuk memahami konsep “utang sejarah” ini, Anis Matta mengajak publik untuk kembali menengok peristiwa monumental KAA 1955. Pada saat itu, Indonesia baru 10 tahun merdeka. Negara ini bahkan masih menghadapi agresi militer dari Belanda. Meskipun demikian, Indonesia justru berani memprakarsai sebuah forum internasional yang mengubah peta dunia. Anis menjelaskan bahwa KAA lahir dari satu narasi tunggal, yaitu perlawanan terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme.
“Semangat Bandung atau ruhnya Bandung itu waktu itu datang dengan satu narasi tunggal, kemerdekaan melawan imperialisme,” kata Anis. Ia menambahkan, “Karena banyak dari anggotanya yang masih belum merdeka sampai tahun itu, dan kita juga baru 10 tahun merdeka.” Dari forum inilah, semangat solidaritas global antar bangsa-bangsa tertindas berkobar. Akibatnya, hampir semua negara di benua Asia dan Afrika berhasil meraih kemerdekaannya pada dekade 1960-an. Namun, menurut Anis, ada satu janji dari semangat tersebut yang hingga kini belum terpenuhi.
“Yang tersisa dari semangat Bandung itu sebenarnya tinggal satu ini, Palestina. Itu artinya masih ada utang sejarah yang kita belum tuntaskan. Dan menuntaskan utang sejarah inilah yang sedang dilakukan oleh Pak Prabowo sekarang,” ungkap Anis.
Politik Luar Negeri yang Konsisten Sejak Era Soekarno
Penting untuk dicatat bahwa sikap tegas ini bukanlah hal baru. Sebaliknya, ini adalah cerminan dari konsistensi politik luar negeri Indonesia yang telah dipegang teguh sejak era Presiden Soekarno. Para pendiri bangsa melihat perjuangan kemerdekaan sebagai sebuah gerakan universal. Mereka meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan lengkap jika masih ada bangsa lain di dunia yang hidup di bawah penjajahan. Prinsip inilah yang kemudian diabadikan dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari masa ke masa, setiap pemerintahan Indonesia melanjutkan mandat ini dengan caranya masing-masing. Di berbagai forum internasional, delegasi Indonesia selalu menjadi salah satu suara yang paling vokal dalam membela hak-hak rakyat Palestina. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo saat ini bukanlah sebuah terobosan kebijakan, melainkan penegasan kembali dan eskalasi dari komitmen yang sudah mengakar dalam DNA diplomasi Indonesia selama lebih dari 70 tahun.
Langkah Konkret Prabowo di Panggung Global
Menurut Anis Matta, Presiden Prabowo memahami sepenuhnya dimensi sejarah ini. Oleh karena itu, keaktifan Indonesia di bawah kepemimpinannya bukanlah sekadar retorika. Pemerintah mewujudkan komitmen ini dalam langkah-langkah konkret dan terukur. Misalnya, Presiden secara konsisten menggunakan panggung-panggung terhormat seperti Sidang Umum PBB untuk menyuarakan urgensi penyelesaian konflik.
Selain itu, Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam pertemuan darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menggalang dukungan dan tekanan kolektif. Di level bilateral, pemerintah terus melakukan lobi-lobi diplomatik dengan negara-negara berpengaruh untuk mendorong solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar yang adil demi terwujudnya kemerdekaan Palestina. Di sisi lain, Indonesia juga tidak melupakan aspek kemanusiaan dengan terus mengirimkan bantuan dan dukungan pembangunan kapasitas bagi rakyat Palestina. Semua upaya ini, kata Anis, adalah bagian dari “cicilan” untuk membayar utang sejarah tersebut.
Amanat Konstitusi, Moral, dan Kemanusiaan
Anis Matta juga memaparkan bahwa dukungan terhadap Palestina berdiri di atas beberapa pilar fundamental yang saling menguatkan.
- Pertama, ada pilar konstitusi. Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Prinsip inilah yang menjadi landasan hukum utama bagi kebijakan luar negeri Indonesia dalam menentang segala bentuk pendudukan, termasuk yang terjadi di Palestina.
- Selanjutnya, ada pilar kemanusiaan yang mendalam. Pemerintah memandang konflik ini bukan hanya sebagai sengketa teritorial, tetapi sebagai tragedi kemanusiaan. “Kita enggak bisa diam melihat pembantaian seperti itu,” ujar Anis. Kewajiban kemanusiaan inilah yang mendorong Indonesia untuk terus bersuara.
- Terakhir, terdapat pilar moral dan solidaritas. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tentu ada ikatan solidaritas keagamaan. Akan tetapi, Anis menegaskan bahwa dukungan ini melampaui batas agama. Ini adalah kewajiban moral universal untuk membela pihak yang tertindas.
“Ini utang sejarah. Di luar dari fakta bahwa ini adalah amanat konstitusi, kewajiban agama, dan kewajiban kemanusiaan, ini juga adalah utang sejarah. Inilah satu-satunya negara yang belum merdeka sekarang,” pungkasnya. Narasi ini menyatukan berbagai elemen, menjadikan dukungan untuk kemerdekaan Palestina sebagai bagian integral dari jati diri bangsa Indonesia.
