Retconomynow.com – (Beirut, 1 November 2025) — Di tengah meningkatnya ketegangan di perbatasan selatan, petinggi Hizbullah menegaskan kembali kesiapan kelompoknya untuk melakukan perlawanan total jika Israel melancarkan agresi baru. Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Syekh Naim Qassem, menyatakan dengan tegas bahwa meskipun pihaknya tidak berniat memulai konflik, Hizbullah siap berperang dengan segala kekuatan yang dimiliki. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan setiap jengkal kedaulatan Lebanon.
Pernyataan keras ini muncul bersamaan dengan tuduhan serius terhadap Amerika Serikat. Menurut Qassem, AS tidak berperan sebagai mediator jujur. Sebaliknya, mereka justru menjadi fasilitator pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Israel. Oleh karena itu, Qassem menyerukan persatuan nasional di Lebanon. Ia menekankan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyatnya, bukan kekuatan asing. Laporan ini akan mengupas secara mendalam sikap Hizbullah, konteks geopolitik, serta potensi eskalasi di salah satu kawasan paling rawan di Timur Tengah.
Tudingan Keras Terhadap Peran Amerika Serikat
Dalam sebuah upacara di Lebanon selatan, Syekh Naim Qassem melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ia menuduh Washington bertindak sebagai “sponsor agresi” Israel. Menurutnya, peran AS bukanlah sebagai penengah yang adil dalam upaya penyelesaian konflik. Ia berpendapat bahwa klaim AS untuk menstabilkan situasi di Lebanon sangat bertentangan dengan tindakannya di lapangan. Faktanya, tindakan AS justru mendukung ekspansi dan pelanggaran yang dilakukan oleh Israel.
“AS mengklaim berupaya menyelesaikan situasi di Lebanon, tetapi mereka bukan perantara yang jujur. Sebaliknya, AS mendukung agresi dan ekspansinya,” tegas Qassem. Selain itu, ia menyoroti lebih dari 5.000 pelanggaran kedaulatan Lebanon oleh Israel, mulai dari pelanggaran udara hingga darat. Qassem mengklaim bahwa alih-alih menekan Israel, Washington justru diam. Terlebih lagi, AS bahkan sering memberikan pembenaran atas tindakan tersebut. “Bagaimana sikap AS terhadap pelanggaran-pelanggaran ini? AS justru membenarkannya,” ujarnya.
Latar Belakang Ketegangan di Perbatasan “Blue Line”
Untuk memahami konteks pernyataan ini, penting untuk melihat situasi di perbatasan Lebanon-Israel. Area ini, yang dikenal sebagai “Blue Line,” bukanlah perbatasan resmi melainkan garis penarikan pasukan yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 2000. Akibatnya, beberapa titik di sepanjang garis ini masih menjadi sumber sengketa. Misalnya, wilayah Shebaa Farms dan desa Ghajar utara masih menjadi pusat perselisihan yang belum terselesaikan.
Israel secara berkala melakukan patroli dan penerbangan pengintaian di wilayah udara Lebanon. Hizbullah dan pemerintah Lebanon menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran berat terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701. Resolusi tersebut dirancang untuk mengakhiri perang tahun 2006. Oleh karena itu, setiap insiden kecil di area ini berpotensi memicu eskalasi yang lebih besar. Retorika keras dari kedua belah pihak, termasuk pernyataan Qassem, sering kali merupakan bagian dari perang psikologis dan strategi saling menggentarkan (deterrence).
Seruan Persatuan Nasional dan Penegasan Kedaulatan
Di tengah ancaman eksternal yang nyata, Qassem mendesak seluruh elemen masyarakat Lebanon untuk bersatu. Ia meminta mereka menolak segala bentuk perpecahan internal. Ia menegaskan bahwa kedaulatan sejati Lebanon berada di tangan rakyatnya. Terutama, para petani dan warga yang gigih mempertahankan tanah mereka di sepanjang perbatasan selatan. Ia bahkan menyebut mereka sebagai “penguasa sejati” Lebanon.
“Kami tidak meminta dukungan. Kami hanya meminta agar tidak ada yang menusuk kami dari belakang atau melayani kepentingan Israel,” serunya. Pesan ini secara implisit ditujukan kepada faksi-faksi politik di Lebanon yang mungkin tidak sejalan dengan agenda Hizbullah. Ia juga menekankan bahwa pemerintah Lebanon memikul tanggung jawab utama untuk melindungi kedaulatan negara. Dengan demikian, solidaritas nasional menjadi kunci untuk menghadapi apa yang ia sebut “agresi AS” dan “ekspansi Israel.”
**Kesiapan Militer dan Sikap Defensif Hizbullah Siap Berperang
Meskipun judul utama pernyataannya menyoroti kesiapan tempur, Qassem secara eksplisit menyatakan bahwa posisi Hizbullah bersifat defensif. Dalam sebuah wawancara terpisah, ia mengklarifikasi bahwa Hizbullah tidak berniat memulai perang baru. Namun, ia memperingatkan dengan keras bahwa jika pertempuran dipaksakan kepada Lebanon, responsnya akan sangat dahsyat.
“Jika pertempuran terpaksa terjadi, kami akan berjuang dengan segala cara. Bahkan hingga orang terakhir. Kami tidak akan membiarkan musuh menyeberang ke Lebanon Selatan,” tegasnya. Pernyataan ini adalah contoh klasik dari doktrin pertahanan Hizbullah. Mereka membangun persepsi kekuatan untuk mencegah serangan. Di sisi lain, mereka juga menggambarkan serangan Israel yang sedang berlangsung sebagai upaya untuk mencapai tujuan politik yang gagal diraih secara militer. Oleh karena itu, ia meyakini perang baru tidak akan memberikan hasil apa pun bagi Israel.
Komitmen pada Perjanjian Taif dan Penolakan Perjanjian Baru
Qassem juga menyinggung landasan konstitusional Lebanon. Ia menegaskan kembali komitmen Hizbullah terhadap Perjanjian Taif. Perjanjian ini sangat penting karena mengakhiri Perang Saudara Lebanon. Menurut Qassem, perjanjian ini harus diimplementasikan secara utuh, bukan selektif. Secara spesifik, ia menyindir pihak-pihak yang mengaku patuh pada perjanjian tersebut namun mengabaikan pasal tentang kewajiban membebaskan seluruh tanah Lebanon dari pendudukan.
Ia juga dengan tegas menolak gagasan tentang perjanjian baru dengan Israel. Baginya, perjanjian gencatan senjata yang ada sudah jelas. Israel-lah yang harus melaksanakannya. “Perjanjian baru apa pun hanya akan membebaskannya (Israel) dan memungkinkan agresi lebih lanjut,” ujarnya. Sikap ini menggarisbawahi bahwa tujuan utama perlawanan adalah melindungi kedaulatan Lebanon. Hizbullah siap berperang hanya sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan kedaulatan tersebut, bukan untuk menggantikan peran negara.
