Dugaan Eksploitasi Terapis: Kematian ABG 14 Tahun di Spa Jaksel Diselidiki

Dugaan Eksploitasi Terapis
0 0
Read Time:4 Minute, 1 Second

Retconomynow.com – 14 Oktober 2025 – Misteri yang menyelimuti kematian seorang terapis wanita berinisial RTA di Pejaten, Jakarta Selatan, kini memasuki babak baru yang lebih kelam. Setelah identitas korban terungkap sebagai seorang anak perempuan berusia 14 tahun, fokus penyelidikan polisi kini melebar. Penyelidikan tidak lagi hanya mencari tahu penyebab jatuhnya korban dari atap gedung, tetapi juga secara intensif mendalami adanya dugaan eksploitasi terapis di bawah umur di tempatnya bekerja. Laporan keluarga mengenai gaji yang tidak layak dan jeratan denda fantastis menjadi pemicu utama bagi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) untuk membongkar praktik yang mungkin terjadi di balik gemerlap industri spa ibu kota.

Kronologi Penemuan Jasad dan Kejanggalan di Lokasi

Kisah tragis ini bermula pada Kamis pagi buta, 2 Oktober 2025. Beberapa saksi di sekitar lokasi mendengar teriakan seorang wanita. Tak lama kemudian, mereka menemukan jasad RTA sudah tergeletak tidak bernyawa dalam posisi telungkup di sebuah lahan kosong, tepat di belakang gedung spa tempatnya bekerja. Temuan ini sontak menggegerkan warga sekitar dan langsung dilaporkan kepada pihak berwenang.

Tim kepolisian yang tiba di lokasi segera melakukan olah TKP. Beberapa kejanggalan mulai terungkap. Salah satunya adalah dari rekaman kamera pengawas atau CCTV di dalam gedung spa. Dalam rekaman tersebut, korban RTA terekam bergerak dengan gestur seolah-olah sedang berusaha menghindari sorotan kamera. Selain itu, polisi menemukan jejak kaki korban di atap gedung, mengindikasikan bahwa ia sempat berada di sana sebelum terjatuh. Namun, penyebab pasti mengapa korban berada di atap dan bagaimana ia bisa terjatuh hingga kini masih menjadi misteri besar yang coba polisi pecahkan.

Fokus Penyelidikan pada Dugaan Eksploitasi Terapis Anak

Seiring berjalannya penyelidikan, laporan dari pihak keluarga korban membuka kotak pandora yang mengalihkan fokus utama kasus ini. Kakak korban melaporkan adanya indikasi kuat praktik eksploitasi terhadap adiknya. Berbekal laporan tersebut, Unit PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan kini secara resmi mendalami dugaan eksploitasi terapis ini dengan menerapkan pasal berlapis, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Nicolas Ary Lilipali, menegaskan keseriusan pihaknya dalam mengungkap aspek ini. “Kita menggunakan pasal eksploitasi anak, TPPO, Pasal 2 UU TPPO, dan juga UU Perlindungan Anak,” jelasnya kepada wartawan. Penyelidikan ini menjadi sangat krusial karena menyangkut perlindungan terhadap anak yang seharusnya tidak berada dalam lingkungan kerja yang rentan seperti itu.

Proses Rekrutmen Spa Menjadi Kunci Penyelidikan

Untuk membuktikan adanya unsur eksploitasi, polisi kini memusatkan perhatian pada proses rekrutmen yang dijalankan oleh pihak spa. Polisi ingin mengetahui bagaimana seorang anak berusia 14 tahun bisa lolos seleksi dan dipekerjakan sebagai terapis. “Kita harus memastikan korban ini bagaimana pada saat perekrutan, kita harus tahu semua dulu,” kata Kombes Nicolas. Pertanyaan utamanya adalah apakah RTA menggunakan identitas palsu, atau apakah pihak spa secara sadar mempekerjakan anak di bawah umur.

Hingga kini, polisi telah memeriksa total 15 orang saksi. Para saksi ini terdiri dari rekan sesama terapis, staf manajemen, hingga petugas keamanan di sekitar lokasi. Namun, pihak manajemen kunci yang bertanggung jawab atas rekrutmen justru terkesan tidak kooperatif. Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Ardian Satrio Utomo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memanggil manajer rekrutmen. “Harusnya kemarin Kamis (diperiksa). Minta mundur minggu depan,” ujar Ardian. Sikap ini menimbulkan kecurigaan lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam manajemen spa tersebut.

Curahan Hati Terakhir: Gaji Kecil dan Denda Fantastis

Laporan dari kakak korban, F, memberikan gambaran yang memilukan tentang kondisi yang RTA alami. Sekitar lima hari sebelum ditemukan tewas, RTA sempat mencurahkan isi hatinya kepada sang kakak. Ia mengaku sudah tidak betah dan ingin berhenti bekerja. Salah satu alasannya adalah gaji yang sangat kecil, hanya Rp 1 juta per bulan, yang tidak sepadan dengan beban kerjanya.

Akan tetapi, keinginan untuk berhenti itu terhalang oleh sebuah ancaman yang tidak masuk akal. RTA mengatakan bahwa ia akan dikenakan denda sebesar Rp 50 juta jika nekat keluar dari pekerjaan sebelum kontraknya berakhir. “Intinya kalau mau keluar dari kerjaan spa harus bayar denda Rp 50 juta,” kata F, menirukan curhatan adiknya. Jeratan denda inilah yang diduga membuat RTA merasa tertekan dan putus asa, yang mungkin menjadi pemicu dari insiden tragis yang menimpanya.

Implikasi Luas dari Kasus Dugaan Eksploitasi Terapis

Kasus RTA menjadi cerminan suram tentang kerentanan anak-anak dari daerah yang mencari pekerjaan di kota besar dengan iming-iming kemandirian finansial. Menurut F, adiknya memang memutuskan bekerja karena ingin hidup mandiri. Namun, keluarga tidak menyangka ia akan dipekerjakan begitu jauh dari kampung halamannya di Jawa Barat, bahkan sempat dikirim hingga ke Bali. Kisah ini menyoroti betapa berbahayanya jaringan rekrutmen yang tidak bertanggung jawab, yang memangsa anak-anak di bawah umur.

Kasus dugaan eksploitasi terapis ini menjadi pengingat keras bagi pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya pengawasan yang ketat terhadap industri jasa seperti spa dan panti pijat. Penyelidikan yang sedang berjalan ini diharapkan tidak hanya akan memberikan keadilan bagi RTA dan keluarganya, tetapi juga dapat membongkar jaringan yang lebih besar dan mencegah jatuhnya korban-korban lain di masa depan.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %