Retconomynow.com – 19 Oktober 2025 – Sebuah gelombang protes massal yang menamakan diri demo “No Kings” meledak serentak di 50 negara bagian Amerika Serikat pada hari Sabtu (18/10). Para penyelenggara mengklaim sekitar tujuh juta orang turun ke jalan untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap serangkaian kebijakan garis keras Presiden Donald Trump. Dari kota metropolitan seperti New York hingga ke kota-kota kecil di jantung Amerika, para demonstran menyuarakan keprihatinan mendalam. Namun, aksi ini disambut dengan cemoohan dari para pendukung Trump, yang menyebutnya sebagai demonstrasi “Benci Amerika”.
Skala Protes: Suara Demokrasi dari Pesisir ke Pesisir
BACA JUGA : Rekonsiliasi 5 Abad: Raja Charles Akan Berdoa Bersama Paus di Vatikan
Skala dari demo “No Kings” ini menunjukkan tingkat mobilisasi publik yang luar biasa. Contohnya, di Washington D.C., ribuan orang berkumpul di dekat Gedung Capitol AS, meneriakkan yel-yel “Beginilah rupa demokrasi!”. Ironisnya, aksi ini terjadi di saat pemerintahan federal lumpuh memasuki minggu ketiga. Spanduk-spanduk warna-warni menghiasi lautan massa, membawa pesan-pesan yang beragam namun senada: seruan untuk “melindungi demokrasi”.
Pemandangan serupa terjadi di kota-kota besar lainnya. Di New York, para demonstran memadati Broadway. Sementara itu, di Los Angeles, aksi ini diwarnai dengan kehadiran balon raksasa yang ikonik, menggambarkan Trump sebagai bayi yang mengenakan popok. Lebih dari itu, fenomena ini tidak hanya terbatas di pusat-pusat liberal. Aksi-aksi yang lebih kecil namun signifikan juga bermunculan di seluruh jantung Amerika.
Pesan di Balik Spanduk: Melawan Otoritarianisme dan Ketidaktahuan
BACA JUGA : Palestina Luncurkan Rencana Rekonstruksi Gaza Senilai Rp1.111 Triliun
Para demonstran mengecam apa yang mereka sebut sebagai taktik otoriter Trump. Faktanya, mereka menyoroti serangannya yang berulang kali terhadap media, lawan politik, dan terutama, para imigran. Di Washington, salah satu tuntutan utama yang bergema adalah penghapusan badan Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE). Lembaga ini telah menjadi ujung tombak dari tindakan keras anti-imigran pemerintahan Trump.
Di Houston, Texas—sebuah kota di mana hampir seperempat populasinya adalah imigran—sebuah spanduk berbunyi, “Lawan Ketidaktahuan, bukan Imigran.” Bahkan, beberapa pengunjuk rasa membawa referensi budaya pop yang tak terduga. Sebuah bendera berlogo tengkorak dari anime “One Piece” terlihat berkibar, sebuah simbol yang baru-baru ini juga diadopsi oleh gerakan antipemerintah dari Peru hingga Madagaskar.
Eskalasi di Los Angeles: Bentrokan dengan Aparat
BACA JUGA : Biaya Visa H-1B Picu Kepanikan, Warga India Jadi Target Sabotase Daring
Meskipun sebagian besar aksi berlangsung damai, ketegangan sempat pecah di pusat kota Los Angeles pada Sabtu malam. Menurut laporan Los Angeles Times, polisi menembakkan peluru tak mematikan dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan, termasuk para demonstran “No Kings”.
Menurut Divisi Pusat LAPD, ribuan orang telah berkumpul secara damai sebelumnya. Akan tetapi, pada malam hari, sekitar seratus orang yang mereka sebut “agitator” bergerak ke persimpangan Aliso dan Alameda. Di sana, mereka menggunakan laser dan lampu sorot berukuran industri yang diarahkan ke petugas. Akibatnya, polisi kemudian mengeluarkan Perintah Pembubaran dan membubarkan massa dari area tersebut.
Respons Trump dan Kubu Republik
BACA JUGA : Taktik Baru Rusia: Siasat Tim Kecil Guncang Pertahanan Ukraina
Presiden Trump merespons demo “No Kings” ini dengan gaya khasnya. Ia tidak mengeluarkan pernyataan resmi. Sebaliknya, ia mengunggah serangkaian video buatan AI ke platform Truth Social miliknya. Dalam video-video tersebut, ia menampilkan dirinya sebagai seorang raja yang kuat. Salah satunya bahkan menggambarkan dirinya mengenakan mahkota sambil mengemudikan jet tempur yang menjatuhkan sesuatu ke arah para pengunjuk rasa.
Para pendukungnya di Kongres juga memberikan perlawanan verbal. Ketua DPR Mike Johnson dengan sinis mencemooh aksi ini. Ia menyebutnya sebagai protes “Benci Amerika”. “Kalian akan menyatukan kaum Marxis, Sosialis, pendukung Antifa, kaum anarkis, dan sayap pro-Hamas,” ujarnya kepada wartawan.
Suara Para Pemimpin Protes: “Negara Hukum Berlaku untuk Semua”
BACA JUGA : Tragedi Siswi SMA Ditikam di Malaysia, PM Anwar Soroti Pengaruh Media Sosial
Para penyelenggara dan tokoh-tokoh progresif menolak mentah-mentah narasi dari kubu Republik. Deirdre Schifeling dari American Civil Liberties Union (ACLU) mengatakan bahwa para pengunjuk rasa ingin menyampaikan pesan sederhana. “Kita adalah negara yang setara,” ujarnya. “Sebuah negara hukum yang berlaku untuk semua orang… Kita tidak akan dibungkam.”
Selanjutnya, Leah Greenberg dari Indivisible Project secara spesifik mengecam upaya pemerintahan Trump untuk mengirim Garda Nasional ke kota-kota yang dipimpin Partai Demokrat. Menurutnya, ini adalah taktik yang biasa digunakan oleh rezim otoriter. “Itu adalah buku pedoman otoriter klasik: mengancam, mencemarkan nama baik, dan berbohong,” kata Greenberg.
Peringatan dari Panggung Utama dan Suara Generasi Muda
Di Washington, Senator progresif Bernie Sanders berpidato di hadapan massa. Ia memperingatkan tentang bahaya nyata yang dihadapi demokrasi di bawah kepemimpinan Trump. “Kita punya presiden yang menginginkan kekuasaan yang semakin besar di tangannya sendiri,” ujarnya.
Pada akhirnya, kekhawatiran ini juga dirasakan oleh generasi muda. Isaac Harder, seorang remaja berusia 16 tahun yang ikut dalam aksi, menyuarakan kecemasannya. “Ini adalah lintasan fasis,” ucapnya. “Dan saya ingin melakukan apa pun untuk menghentikannya.” Suaranya mewakili ketakutan dan tekad generasi baru yang merasa masa depan demokrasi mereka sedang dipertaruhkan. Dengan demikian, demo “No Kings” bukan hanya sekadar protes sesaat. Justru, ini adalah sebuah pergerakan yang didorong oleh keprihatinan mendalam tentang jiwa bangsa Amerika itu sendiri.
