Bupati Aceh Selatan Desersi: Prabowo Minta Mendagri Proses

Bupati Aceh Selatan Desersi
0 0
Read Time:5 Minute, 40 Second

Retconomynow.com9 Desember 2025 – Dunia politik nasional sedang menyoroti isu serius terkait kesiapsiagaan pejabat daerah dalam menghadapi bencana. Dalam rapat penanganan bencana di Banda Aceh, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sindiran keras. Beliau menyinggung bupati yang dinilai tidak siap menghadapi situasi krisis di wilayahnya. Bupati Aceh Selatan Desersi, demikian sebutan Prabowo, merujuk pada tindakan seorang kepala daerah yang meninggalkan wilayahnya saat musibah banjir besar melanda tanpa izin resmi.

Pernyataan Presiden itu muncul di tengah sorotan publik yang luas terhadap Bupati Aceh Selatan, Mirwan, yang pergi menunaikan ibadah umrah. Tindakan ini terjadi ketika wilayah yang dipimpinnya sangat membutuhkan komando dan kehadiran pemimpin di lapangan. Prabowo awalnya memberikan apresiasi atas kehadiran para kepala daerah yang sigap dalam rapat tersebut. Namun, beliau dengan tegas mengingatkan bahwa para bupati memang dipilih untuk selalu berjuang, terutama menghadapi situasi sulit seperti bencana alam. Situasi ini menuntut kehadiran fisik dan kepemimpinan yang nyata.


1. Desersi Sipil: Tuntutan Sanksi Tegas bagi Bupati Aceh Selatan

Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sikap kepemimpinan yang tidak menoleransi ketidakdisiplinan di tengah krisis. Beliau secara tegas meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, untuk memproses bupati yang meninggalkan wilayahnya di tengah bencana banjir. “Kalau ada yang mau lari, lari saja enggak apa-apa… hehe. Copot. Mendagri bisa ya diproses ini?” ujar Prabowo, memberikan lampu hijau terhadap penindakan.

Mendagri Tito Karnavian langsung menyambut permintaan tersebut. Beliau mengiyakan bahwa proses sanksi dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Prabowo kemudian melanjutkan sindiran kerasnya. Beliau menyamakan tindakan bupati tersebut dengan istilah yang sangat serius dalam tradisi militer. “Itu kalau tentara namanya desersi. Dalam keadaan bahaya, meninggalkan anak buah, waduh… itu enggak bisa,” sentil Prabowo. Istilah ini merujuk pada meninggalkan tugas atau pos tanpa izin saat berada dalam kondisi darurat atau bahaya. Oleh karena itu, Prabowo menegaskan bahwa integritas dan tanggung jawab kepemimpinan jauh di atas afiliasi politik manapun. Beliau tidak peduli dari partai mana bupati tersebut berasal. Beliau hanya berfokus pada kinerja dan dedikasi.


2. Konteks Krisis dan Sorotan Kesiapsiagaan Pejabat Daerah

Isu Bupati Aceh Selatan Desersi ini mencuat pada saat kritis. Wilayah Aceh sedang berjuang keras menghadapi musibah banjir yang meluas dan berdampak besar pada infrastruktur serta kehidupan masyarakat. Bencana alam ini membutuhkan komando penanganan yang cepat, efektif, dan terpusat dari pimpinan tertinggi daerah. Kesiapsiagaan kepala daerah menjadi faktor penentu utama dalam memastikan penanganan logistik, evakuasi, dan distribusi bantuan berjalan efisien.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, sebelumnya sudah menyatakan kekecewaannya. Bima menyampaikan bahwa seharusnya seorang kepala daerah menyesuaikan rencana pribadi, termasuk ibadah umrah, ketika wilayahnya sedang mengalami kondisi darurat. Beliau menekankan pentingnya fokus penuh pada penanganan bencana. Selain itu, Bima menambahkan bahwa dalam situasi seperti ini, seorang pemimpin harus memimpin penanganan di garis depan. Kehadiran fisik pemimpin di lokasi bencana memberikan moral dan motivasi yang tak ternilai bagi petugas di lapangan dan juga bagi masyarakat yang terdampak.

Kritik ini mencerminkan ekspektasi tinggi publik terhadap pemimpin di masa krisis. Kecepatan respons dan empati kepemimpinan seringkali menjadi tolok ukur utama. Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran bagi seluruh kepala daerah di Indonesia. Mereka harus selalu memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, terutama saat wilayahnya berada dalam kondisi bahaya atau darurat.


3. Klarifikasi Bupati: Nazar, Banjir, dan Isu Miskomunikasi

Bupati Mirwan tidak tinggal diam setelah kasusnya menjadi sorotan nasional dan menerima teguran langsung dari Presiden. Ia memberikan klarifikasi untuk membela keputusannya. Dalam keterangan tertulisnya, Mirwan mengaku sudah turun langsung mengecek kondisi masyarakat terdampak banjir. Ia juga meninjau para pengungsi sebelum berangkat ke Tanah Suci. Menurutnya, hasil koordinasi sebelum keberangkatan menunjukkan situasi saat itu terkendali. Kondisi ini yang membuatnya yakin dapat menunaikan nazar ibadah umrah.

Mirwan juga menanggapi isu ketidakizinan yang diangkat oleh Gubernur Aceh. Ia menyebut surat penolakan izin keluar dari Gubernur Aceh baru diterima oleh Pemkab Aceh Selatan pada 2 Desember 2025. Padahal, ia sudah lebih dahulu berada di Mekkah. Mirwan menjelaskan, informasi di daerah terlambat diterima karena jaringan telekomunikasi dan listrik sempat padam akibat gangguan. Dengan demikian, ia mengklaim telah terjadi miskomunikasi yang menyebabkan kesalahpahaman. Meskipun demikian, Mirwan memastikan bahwa penanganan banjir tetap berlangsung efektif di bawah komando posko dan OPD terkait yang tetap bertugas. Penjelasan ini berusaha meredam kontroversi, namun tidak sepenuhnya menghilangkan persepsi publik tentang prioritas kepemimpinan.


4. Tindak Lanjut dan Konsekuensi Politik Terhadap Kasus Ini

Pernyataan keras dari Presiden Prabowo membawa konsekuensi politik dan administrasi yang cepat bagi Bupati Mirwan. Mendagri Tito Karnavian mengonfirmasi bahwa Kemendagri akan segera memproses sanksi sesuai aturan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Inspektur Khusus (Irsus) bahkan telah dikirim ke Aceh untuk mengumpulkan fakta lapangan dan melihat hasil pemeriksaan. Proses ini akan menentukan tingkat sanksi administrasi yang akan dikenakan.

Selanjutnya, konsekuensi tidak hanya datang dari pemerintah pusat. Partai politik yang menaunginya juga mengambil tindakan tegas sebagai bentuk pertanggungjawaban politik. Bupati Mirwan diberitakan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPC Partai Gerindra di Aceh Selatan. Tindakan cepat partai ini menunjukkan upaya pembersihan internal dan penegasan bahwa tidak ada toleransi terhadap pemimpin yang dianggap lalai dalam tugas. Ini juga merupakan upaya partai untuk menjaga citra dan integritas di mata publik. Sanksi ganda ini—politik dan administrasi—menggarisbawahi betapa seriusnya pelanggaran etika kepemimpinan di masa krisis. Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan disiplin kepala daerah.


5. Prinsip Kepemimpinan dan Etika Pelayanan Publik

Prinsip kepemimpinan di garis depan dalam situasi bencana adalah fundamental dalam etika pelayanan publik. Kepala daerah memegang tanggung jawab moral dan fungsional tertinggi untuk melindungi dan melayani warganya di saat paling rentan. Tindakan meninggalkan wilayah tanpa izin jelas melanggar prinsip ini. Apalagi, hal ini terjadi pada saat bencana masih berlangsung. Kasus ini menjadi sorotan karena mempertaruhkan nyawa dan keselamatan ribuan warga.

Kepemimpinan yang efektif dalam krisis menuntut pengambilan keputusan cepat, alokasi sumber daya, dan koordinasi instansi terkait. Kehadiran pemimpin di lokasi memberikan kepastian dan harapan. Tentu saja, alasan nazar atau ibadah, meskipun mulia secara personal, tidak dapat membenarkan absennya komando di masa darurat. Pemerintah pusat melalui Presiden Prabowo memberikan pesan yang sangat jelas. Setiap pejabat publik, tanpa terkecuali, harus memegang teguh sumpah jabatan dan siap mengorbankan kepentingan pribadi demi tugas negara, khususnya saat rakyat membutuhkan. Ini adalah definisi sejati dari patriotisme sipil. Penegasan ini diharapkan meningkatkan kesadaran seluruh pejabat daerah mengenai pentingnya kesiapsiagaan 24 jam.


Penutup: Warisan Ketegasan untuk Disiplin Pemerintahan

Presiden Prabowo Subianto berhasil mengubah insiden lokal ini menjadi pelajaran nasional mengenai disiplin pemerintahan dan etika kepemimpinan. Permintaan kerasnya kepada Mendagri untuk memproses Bupati Aceh Selatan Desersi mengirimkan gelombang peringatan bagi semua kepala daerah di Indonesia. Ini menegaskan bahwa era toleransi terhadap kelalaian saat krisis telah berakhir.

Pemerintah pusat melalui kementerian terkait berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada daerah yang terdampak bencana. Namun, komitmen ini harus dibarengi dengan dedikasi dan tanggung jawab yang sama tingginya dari pimpinan daerah. Kasus ini menutup tahun 2025 dengan catatan tegas. Ke depan, setiap kepala daerah harus siap menganggap wilayahnya sebagai ‘garis depan’ yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi genting. Ini adalah warisan ketegasan untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan responsif.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %