Retconomynow.com – 16 Oktober 2025 – Sebuah pengumuman kebijakan baru terkait biaya visa H-1B oleh Presiden AS Donald Trump telah memicu gelombang kepanikan di kalangan pekerja asing terampil, terutama dari India. Rencana pengenaan biaya baru yang fantastis ini mendorong banyak dari mereka untuk segera kembali ke Amerika Serikat. Namun, di tengah kepanikan tersebut, sebuah kampanye kebencian daring yang terorganisir muncul dari sudut-sudut gelap internet. Kampanye ini secara spesifik menargetkan warga India dengan menyabotase sistem pemesanan tiket pesawat, menciptakan kekacauan, dan menunjukkan bagaimana retorika politik dapat dengan cepat dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk aksi nyata.
Pengumuman Trump dan Kepanikan di Kalangan Pemegang Visa H-1B
Kepanikan ini bermula ketika Presiden Trump mengumumkan rencana kebijakan baru yang sangat drastis. Ia menyebut akan ada biaya baru sebesar 100.000 dolar AS (sekitar Rp 1,6 miliar) untuk setiap aplikasi visa kerja H-1B. Visa H-1B sendiri adalah visa non-imigran yang memungkinkan perusahaan di AS untuk mempekerjakan tenaga kerja asing dengan keterampilan khusus di bidang seperti teknologi dan sains. Faktanya, sekitar 75 persen dari 85.000 visa H-1B yang dikeluarkan setiap tahunnya diberikan kepada warga negara India.
Meskipun Gedung Putih kemudian mengklarifikasi bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku bagi aplikasi visa baru, tidak bagi pemegang visa saat ini, nasi sudah menjadi bubur. Pengumuman awal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian yang luar biasa. Akibatnya, banyak perusahaan teknologi di AS yang cemas akan potensi hambatan administrasi di masa depan. Mereka pun segera meminta karyawan pemegang visa H-1B mereka yang sedang berada di luar negeri, seperti Amrutha Tamanam, untuk segera kembali ke AS.
Kampanye “Sumbat Toilet”: Senjata Baru Ekstremisme Daring
Di tengah urgensi untuk kembali ke AS, Amrutha Tamanam, seorang insinyur perangkat lunak yang telah tinggal di AS selama satu dekade, menghadapi kendala yang tak terduga. Ia kesulitan memesan tiket pesawat dari India. Sistem pemesanan tiket maskapai besar tampak lumpuh. Ternyata, ini bukanlah gangguan teknis biasa. Ini adalah hasil dari sebuah kampanye sabotase daring yang terkoordinasi bernama “sumbat toilet” (toilet clog).
Kampanye jahat ini digerakkan oleh para pengguna forum sayap kanan ekstrem, 4chan. Mereka secara aktif mendorong sesama pengguna untuk memesan kursi penerbangan dari India ke AS secara massal. Namun, mereka tidak pernah menyelesaikan pembayarannya. Tujuannya adalah untuk memblokir kursi-kursi tersebut, membuatnya tampak terjual habis, dan secara efektif mencegah penumpang sungguhan untuk bisa membeli tiket. “Orang India baru saja tersadar setelah berita H-1B. Ingin mempertahankan mereka di India? Matikan sistem reservasi penerbangan!” tulis salah satu unggahan yang tersebar di Telegram dan forum daring lainnya. Beberapa pengguna bahkan dengan bangga mengeklaim telah berhasil memblokir lebih dari 100 kursi di rute populer seperti Delhi–Newark.
Dampak Nyata: Harga Tiket Melambung dan Kerugian Finansial
Meskipun pihak Air India secara resmi membantah adanya gangguan pada sistem mereka, pengalaman Amrutha Tamanam berbicara sebaliknya. Ia mengalami kesulitan besar saat mengakses situs maskapai. Setelah berjuang keras, ia akhirnya berhasil mendapatkan satu tiket sekali jalan menuju Dallas, Texas. Akan tetapi, ia harus membayarnya dengan harga 2.000 dolar AS (sekitar Rp 33 juta). Harga ini lebih dari dua kali lipat harga tiket pulang-pergi di hari-hari normal.
“Sulit bagi saya untuk memesan tiket dan saya membayar ongkos yang sangat mahal untuk perjalanan panik itu,” kata Tamanam. Kisahnya menjadi bukti nyata bagaimana sebuah kampanye kebencian daring dapat secara langsung menimbulkan kerugian finansial dan stres emosional yang signifikan bagi para korbannya.
Analisis Ahli: Mobilisasi Kebencian Lintas Batas Negara
Para ahli ekstremisme melihat fenomena ini dengan penuh keprihatinan. Heidi Beirich, pendiri Global Project Against Hate and Extremism, menyebut bahwa kampanye “sumbat toilet” ini memiliki tujuan yang jelas: menciptakan kepanikan dan penderitaan di kalangan pemegang visa kerja yang mereka targetkan. Menurutnya, forum-forum seperti 4chan telah lama menjadi “ruang radikalisasi” yang menyuburkan kebencian dan ekstremisme. Bahkan, beberapa pelaku penembakan massal di AS diketahui pernah menerbitkan manifesto mereka di situs tersebut sebelum melakukan aksinya.
Pendapat serupa disampaikan oleh Brian Levin, pendiri Center for the Study of Hate and Extremism. Ia menilai bahwa kampanye ini menunjukkan sebuah evolusi yang mengerikan. Kebencian dan politik identitas kini dapat dimobilisasi secara global dan instan melalui internet. “Yang menurut saya sangat relevan adalah seberapa cepat penyebarannya, betapa beragamnya negara-negara yang diwakilinya, dan bagaimana antipati bersama lintas batas negara dapat dimobilisasi secara daring,” kata Levin. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana retorika politik anti-imigran dapat dengan cepat diadopsi dan dieksekusi sebagai aksi sabotase oleh kelompok anonim di seluruh dunia. Pada akhirnya, ini bukan lagi sekadar masalah biaya visa H-1B, melainkan perang informasi dan kebencian di era digital.
