Retconomynow.com – 15 November 2025 – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menanggapi dengan keras ancaman penangkapan yang dilontarkan oleh Wali Kota New York terpilih, Zohran Mamdani. Netanyahu mengaku tidak gentar sedikit pun untuk mengunjungi New York, meskipun Mamdani berjanji akan menahannya jika ia menginjakkan kaki di kota tersebut. Perseteruan verbal ini menyoroti Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu yang kini menjadi isu diplomatik sensitif.
“Apakah saya takut pergi ke sana (New York)? Tentu saja tidak. Tentu saja tidak,” kata Netanyahu, seperti dilansir dari Times of Israel.
Netanyahu bahkan membalas ancaman itu dengan nada meremehkan. Ia mengatakan akan terbuka untuk berbicara dengan Mamdani, namun hanya “jika dia mau belajar”. Respons ini menunjukkan eskalasi retorika antara Israel dan salah satu politisi paling progresif di Amerika Serikat.
Mengapa Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu Muncul?
Dasar dari ancaman yang dilontarkan Zohran Mamdani sangat jelas: surat perintah penangkapan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tahun lalu. Selama kampanyenya di pemilu Juni, Mamdani menegaskan posisinya.
“Sebagai wali kota, saya akan menangkap Netanyahu jika datang ke New York. Ini adalah kota yang nilainya sejalan dengan hukum internasional,” kata Mamdani pada Juni lalu.
Menurut ICC, Netanyahu dan Menteri Pertahanan saat itu, Yoav Gallant, menjadi target surat perintah atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Jalur Gaza. Agresi brutal Israel di wilayah tersebut pada November tahun lalu memicu reaksi keras global, yang berujung pada tindakan ICC.
Bagi Mamdani, ini bukan sekadar retorika politik. Ia kembali menegaskan janjinya pada Oktober lalu setelah memenangkan pemilu. “Saya bilang berkali-kali, ini adalah kota yang meyakini hukum internasional… Dan saya pikir kota kita harus menjunjung tinggi perintah yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional,” tegas Mamdani, dikutip ABC News.
Respons Netanyahu: ‘Pemimpin Muda Tidak Berpendidikan’
Netanyahu menepis ancaman Mamdani bukan sebagai tantangan hukum, melainkan sebagai pernyataan dari seorang pemimpin muda yang naif. Ia memosisikan Mamdani sebagai sosok yang tidak memahami realitas geopolitik, antisemitisme, dan ekonomi.
“Menjadi pemimpin muda itu baik, tetapi menjadi pemimpin muda yang tidak berpendidikan dalam arti tidak tahu ekonomi, tidak tahu apa itu antisemitisme, tidak tahu siapa orang jahatnya, itu tidak baik,” kata Netanyahu.
Perdana Menteri Israel itu seolah menawarkan diri untuk “mendidik” Mamdani. “Saya pikir Anda harus mengasah pengetahuan itu. Dengan begitu, kita bisa berdiskusi,” imbuhnya.
Respons ini adalah taktik klasik Netanyahu: membalikkan tuduhan kejahatan perang menjadi isu ketidaktahuan (ignorance) dan antisemitisme. Ia menolak untuk terlibat dalam substansi surat perintah ICC dan memilih untuk menyerang kredibilitas personal Mamdani.
Konteks Politik: Siapa Zohran Mamdani?
Untuk memahami signifikansi Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu, kita harus melihat siapa Zohran Mamdani. Kemenangannya dalam pemilihan wali kota New York pada Selasa (4/11) merupakan sebuah kejutan besar.
Pria kelahiran Uganda ini berhasil mengalahkan dua nama besar: rival dari jalur independen sekaligus mantan Gubernur New York, Andrew Cuomo, dan kandidat Partai Republik, Curtis Sliwa. Kemenangannya menandai pergeseran politik yang signifikan di New York ke arah yang lebih progresif.
Mamdani adalah seorang politikus sosialis demokratik yang sejak lama dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan luar negeri AS dan Israel. Ia adalah salah satu politisi AS pertama yang secara terbuka mengutuk agresi Israel di Gaza sebagai “genosida”.
Selain itu, Mamdani juga merupakan pendukung vokal gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang menargetkan produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Ia berulang kali menyatakan bahwa nilai politiknya adalah anti-kekerasan, dan ia melihat tindakannya sebagai penegakan hukum internasional.
Implikasi Diplomatik dari Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu
Secara teknis, seorang wali kota di AS memiliki yurisdiksi yang sangat terbatas dalam urusan luar negeri atau penegakan perintah ICC. Penangkapan seorang kepala negara yang sedang berkunjung biasanya berada di bawah wewenang pemerintah federal, seperti Departemen Luar Negeri dan Dinas Rahasia.
Namun, Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu (satu-satunya frasa bold di isi artikel) ini memiliki bobot simbolis yang luar biasa. New York adalah rumah bagi populasi Yahudi terbesar di luar Israel dan menjadi tuan rumah markas besar PBB. Kota ini adalah pusat diplomasi global.
Ketika Wali Kota New York secara terbuka berjanji untuk menangkap Perdana Menteri Israel, ini mengirimkan pesan kuat yang menyoroti perpecahan mendalam di dalam tubuh politik Amerika. Hal ini menciptakan situasi diplomatik yang sangat canggung bagi pemerintah federal AS, yang secara historis merupakan sekutu terkuat Israel dan tidak mengakui yurisdiksi ICC.
Ancaman ini juga berpotensi memicu ketegangan di dalam kota New York sendiri. Di satu sisi, ia mendapat dukungan dari aktivis pro-Palestina dan kelompok progresif. Di sisi lain, ia menuai kecaman keras dari kelompok pro-Israel dan politisi moderat yang melihatnya sebagai tindakan provokatif dan melampaui batas kewenangan seorang wali kota.
Masa Depan Kunjungan dan Ancaman Mamdani terhadap Netanyahu
Pada akhirnya, perseteruan ini lebih merupakan perang kata-kata yang mencerminkan konflik ideologi yang lebih besar. Netanyahu jelas tidak takut untuk berkunjung. Ia memahami bahwa perlindungan federal akan mengesampingkan ancaman dari balai kota.
Namun, kunjungannya berikutnya ke New York (misalnya, untuk menghadiri Sidang Umum PBB) pasti akan diwarnai oleh drama ini. Hal itu akan memicu protes besar-besaran, baik dari pendukung Mamdani yang menuntut penangkapan, maupun dari pendukung Netanyahu yang mengecam Mamdani.
Netanyahu telah menegaskan posisinya: ia melihat Mamdani sebagai pemimpin muda yang “tersesat”. Mamdani juga telah menegaskan posisinya: ia melihat Netanyahu sebagai penjahat perang. Perseteruan ini menunjukkan bahwa isu Gaza telah meresonansi jauh melampaui Timur Tengah, kini menjadi isu sentral dalam politik dalam negeri Amerika.
