Retconomynow.com – 18 November 2025 – Kelompok milisi Palestina, Hamas, secara resmi menolak resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang baru saja disahkan. Resolusi usulan Amerika Serikat (AS) ini bertujuan membentuk Dewan Perdamaian (Board of Peace/BoP) di Jalur Gaza. Selain itu, resolusi ini akan mengirim Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF). Sikap Hamas Tolak Pasukan Internasional ini didasari argumen bahwa resolusi tersebut tidak sesuai dengan tuntutan dan hak politik serta kemanusiaan rakyat Palestina.
Dalam sebuah pernyataan pada Senin (17/11), Hamas mengecam keras rencana tersebut. “Memberlakukan mekanisme perwalian internasional di Jalur Gaza merupakan sesuatu yang ditolak oleh rakyat kami dan kelompok-kelompok mereka,” ujar Hamas,
Alasan Utama Hamas Tolak Pasukan Internasional: Mandat Pelucutan Senjata
Alasan penolakan Hamas tidak hanya bersifat politis, tetapi juga sangat teknis. Poin paling kontroversial dalam resolusi AS tersebut adalah mandat yang diberikan kepada Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF).
Draf resolusi menyebutkan bahwa ISF akan bertugas “menonaktifkan permanen senjata dari kelompok bersenjata non-negara”. Ini adalah frasa yang secara langsung merujuk pada pelucutan senjata Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya.
Bagi Hamas, mandat ini adalah garis merah yang tidak bisa ditoleransi. “Menugaskan pasukan internasional dengan tugas dan peran di Jalur Gaza, termasuk membuka senjata kelompok perlawanan, sama seperti mencabut netralitas pasukan,” demikian pernyataan Hamas, seperti dikutip Reuters.
Hamas berargumen bahwa mandat semacam itu secara otomatis mengubah status ISF. Pasukan tersebut tidak lagi menjadi penjaga perdamaian yang netral. Sebaliknya, mereka akan berubah menjadi “pihak terlibat konflik yang mendukung pendudukan”.
Counter-Proposal Hamas: Pasukan Hanya di Perbatasan dan Di Bawah PBB
Meski Hamas Tolak Pasukan Internasional di dalam Gaza, mereka tidak sepenuhnya menutup pintu terhadap kehadiran pasukan asing. Namun, Hamas mengajukan syarat yang sangat berbeda dari proposal AS.
Kelompok ini menegaskan bahwa jika pasukan internasional memang harus dibentuk, lokasinya harus jelas. “Setiap pasukan internasional, apabila dibentuk, harus dikerahkan hanya di perbatasan,” ujar Hamas, seperti dikutip Al Jazeera.
Mandatnya pun harus sangat terbatas. Menurut Hamas, pasukan ini hanya boleh bertugas untuk tiga hal:
- Memisahkan pasukan (antara pejuang Gaza dan tentara Israel).
- Memantau gencatan senjata yang berlaku.
- Berada di bawah pengawasan PBB, bukan badan lain.
Proposal Hamas ini sejalan dengan misi penjaga perdamaian PBB tradisional, seperti UNIFIL di Lebanon. Di sisi lain, proposal AS lebih mirip misi peace enforcement (penegakan perdamaian) dan pemerintahan transisi.
Detail Rencana AS: Dewan Perdamaian Pimpinan Trump
Resolusi yang DK PBB sahkan ini bertujuan mendukung rencana perdamaian Gaza yang Presiden AS Donald Trump ajukan pada September lalu. Rencana ini sangat ambisius.
Poin utamanya adalah pembentukan “Board of Peace” (BoP) sebagai pemerintahan transisi di Gaza. Badan ini akan beroperasi hingga akhir tahun 2027. BoP juga akan berkoordinasi untuk upaya rekonstruksi besar-besaran di wilayah kantong yang hancur tersebut.
Masalah terbesar bagi Hamas adalah siapa yang akan memimpin dan mengomandoi badan ini. Resolusi AS menetapkan BoP akan dipimpin oleh Trump. Badan inilah yang diberi wewenang untuk membentuk dan mengerahkan ISF di bawah komandonya, bukan komando PBB.
Abstensi Rusia-China dan Kritik atas Resolusi
Meskipun resolusi ini lolos, proses pemungutan suaranya tidak bulat. Resolusi itu mendapat dukungan 13 negara anggota DK PBB, termasuk sekutu AS seperti Inggris, Prancis, dan juga Somalia.
Namun, dua anggota tetap yang memiliki hak veto, Rusia dan China, memilih abstain. Sikap abstain ini, meskipun bukan veto, mengirimkan sinyal diplomatik yang kuat bahwa ada keraguan besar terhadap proposal AS.
Moskow dan Beijing mengkritik resolusi tersebut. Mereka mengatakan resolusi itu “kurang jelas” soal susunan mekanisme utama. Mereka juga menyoroti “tidak ada kepastian PBB terlibat” dalam komando ISF dan BoP.
Kritik paling tajam adalah kegagalan resolusi AS untuk menegaskan kembali dukungan kuat dan tegas terhadap solusi dua negara, yang selama ini menjadi konsensus internasional.
Gencatan Senjata Rapuh dan Implikasi Hamas Tolak Pasukan Internasional
Seluruh perang diplomatik di New York ini terjadi di atas gencatan senjata yang sangat rapuh. Tahap awal rencana Trump, yaitu gencatan senjata antara Israel dan Hamas serta pembebasan sandera dan tahanan, mulai berlaku pada 10 Oktober.
Namun, Mike Waltz, duta besar AS untuk PBB, mengakui bahwa ini adalah “langkah awal yang rapuh dan mudah rapuh”.
Resolusi AS menetapkan bahwa ISF nantinya akan bekerja sama dengan Israel, Mesir, dan polisi Palestina yang “baru dilatih”. Pasukan ini akan bertugas mengamankan perbatasan serta memastikan pelucutan senjata Hamas.
Inilah inti masalahnya. Hamas Tolak Pasukan Internasional (satu-satunya frasa bold di isi artikel) karena polisi di wilayah Gaza hingga kini masih berada di bawah otoritas Hamas. Rencana AS, oleh karena itu, Hamas baca sebagai upaya paksa untuk membongkar total struktur pemerintahan dan perlawanan mereka. Penolakan ini memastikan bahwa implementasi resolusi DK PBB tersebut akan menghadapi jalan buntu di lapangan.
