Alarm Densus 88: 110 Anak di 23 Provinsi Terekrut Terorisme Lewat Medsos

Rekrutmen Terorisme Anak-Anak
0 0
Read Time:4 Minute, 5 Second

Retconomynow.com – 18 November 2025 – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap temuan yang sangat mengkhawatirkan. Mereka mencatat 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun telah terekrut jaringan terorisme. Fenomena Rekrutmen Terorisme Anak-Anak ini tersebar di 23 provinsi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, mengonfirmasi temuan ini. Ia menjelaskan bahwa perekrutan ini terjadi secara masif melalui media sosial.

Temuan ini menunjukkan pergeseran strategi jaringan teror yang kini secara aktif menyasar kelompok usia paling rentan. Polri pun bergerak cepat dengan menangkap dua tersangka dewasa yang berperan sebagai perekrut dan pengendali.

Detail Temuan dan Penangkapan Perekrut

Trunoyudo membeberkan data ini dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025). “Hingga saat ini, Densus 88 AT Polri mencatat ada sekitar 110 anak-anak yang memiliki usia antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” kata Trunoyudo.

Atas temuan ini, Densus 88 telah bergerak. Polri menangkap dua tersangka dewasa. Mereka berperan sebagai perekrut sekaligus pengendali komunikasi kelompok. Petugas menangkap keduanya di dua lokasi terpisah, yaitu Sumatera Barat dan Jawa Tengah.

Kelompok ini diduga mengelola grup media sosial tertutup. Grup ini menjadi ruang rekrutmen eksklusif dan sarana komunikasi internal mereka setelah proses indoktrinasi awal berhasil.

Modus Rekrutmen Terorisme Anak-Anak Lewat Medsos

Trunoyudo menjelaskan modus operandi para perekrut. Mereka tidak langsung mengajak anak-anak untuk bergabung. Perekrutan berlangsung secara bertahap melalui platform digital yang lazim remaja gunakan sehari-hari.

Tahap awal adalah penyebaran propaganda secara massal. Para perekrut menggunakan platform populer seperti Facebook, Instagram, dan bahkan platform game online untuk menebar jala ideologi mereka.

Setelah itu, mereka akan memantau respons. Mereka yang perekrut anggap sebagai target potensial (misalnya, memberi like, komentar positif, atau menunjukkan ketertarikan) akan mereka hubungi secara pribadi. Komunikasi berlanjut melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram.

Grooming Ideologi: Propaganda Lewat Meme dan Musik

Materi propaganda yang perekrut gunakan sangat berbahaya. Mereka mengemasnya agar terlihat menarik bagi remaja. Ini adalah bentuk grooming ideologi yang canggih.

Materi tersebut berupa video pendek (mirip format TikTok/Reels), animasi, meme, hingga musik yang relevan dengan selera Gen Z. Desain konten ini bertujuan membangun kedekatan emosional dan rasa “satu komunitas”.

Pada akhirnya, konten ini memicu ketertarikan ideologis secara perlahan. Anak-anak yang sedang dalam fase pencarian jati diri seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang terpapar ideologi ekstrem. Mereka merasa menemukan komunitas yang menerima mereka apa adanya.

Faktor Kerentanan di Balik Rekrutmen Terorisme Anak-Anak

Mengapa anak-anak usia 10-18 tahun begitu mudah terpengaruh? Trunoyudo menyebutkan bahwa anak-anak dalam rentang usia ini sangat rentan karena berbagai faktor psikologis dan sosial.

Faktor-faktor ini seringkali berasal dari lingkungan terdekat mereka. Pertama, perundungan atau bullying. Anak yang menjadi korban bullying di sekolah sering merasa terasing. Mereka kemudian mencari komunitas online yang mau menerima mereka. Kelompok teroris menawarkan rasa “persaudaraan” dan “kekuatan” palsu yang sangat menarik bagi korban bullying.

Kedua, kondisi keluarga. Anak-anak dari keluarga broken home atau yang kurang perhatian orang tua sering mengalami kekosongan emosional. Perekrut hadir secara online sebagai sosok “mentor” atau “kakak” yang memberikan perhatian intensif.

Ketiga, pencarian jati diri. Usia remaja adalah masa pencarian identitas. Mereka mudah tertarik pada ideologi yang menawarkan tujuan hidup yang “heroik” atau “mulia”, meskipun ideologi itu sesat. Perekrut memanipulasi kebutuhan ini.

Terakhir, faktor literasi. Minimnya literasi digital dan pemahaman agama yang dangkal membuat anak-anak tidak mampu memfilter konten berbahaya. Mereka menelan mentah-mentah propaganda ekstrem yang perekrut sajikan atas nama agama, tanpa memiliki kemampuan untuk mengkritisi atau membandingkannya.

Langkah Pencegahan Rekrutmen Terorisme Anak-Anak

Melihat perkembangan ancaman yang mengkhawatirkan ini, Polri tidak bisa bekerja sendiri. Polri merekomendasikan empat langkah utama untuk pencegahan yang melibatkan seluruh elemen negara.

Langkah pertama adalah kajian regulasi media sosial. Pemerintah perlu membatasi dan mengawasi penggunaan media sosial secara lebih ketat, khususnya bagi anak di bawah umur. Ini mungkin melibatkan verifikasi usia yang lebih kuat.

Kedua, Polri mengusulkan pembentukan tim terpadu lintas kementerian dan lembaga. Tim ini akan menangani deteksi dini, edukasi publik, dan intervensi. Tim ini juga akan menangani penegakan hukum, pendampingan psikologis, hingga pengawasan pasca-intervensi bagi anak yang sudah terpapar.

Ketiga, perlu ada penyusunan SOP teknis nasional. SOP ini penting bagi seluruh pemangku kepentingan (sekolah, dinas sosial, polisi) agar penanganan di 23 provinsi tersebut berjalan cepat dan seragam.

Keempat, pelibatan aktif orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat. Mereka adalah garda terdepan. Mereka harus aktif dalam memutus mata rantai rekrutmen online dengan membangun komunikasi terbuka dengan anak.

Komitmen Lintas Lembaga

Trunoyudo menutup konferensi pers dengan menegaskan komitmen Polri. Polri, bersama seluruh kementerian dan lembaga terkait, akan melindungi anak-anak Indonesia. Rekrutmen Terorisme Anak-Anak (satu-satunya frasa bold di isi artikel) adalah ancaman nyata.

Polri akan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Polri menegaskan komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia… dari ancaman radikalisasi, eksploitasi ideologi, maupun kekerasan digital untuk melindungi anak-anak Indonesia,” kata Trunoyudo.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %