Retconomynow.com – 11 November 2025 – Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), saat ini tengah mengkaji Sertifikasi Influencer. Wacana ini, yang bergulir menyusul langkah serupa di China, langsung memicu perdebatan sengit. Akan tetapi, para kreator konten, aktivis, hingga pakar menilai kebijakan itu belum tepat untuk Indonesia. Mereka menyoroti berbagai masalah fundamental, misalnya, infrastruktur digital yang belum merata, literasi digital pejabat yang masih rendah, serta ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
Konten kreator sekaligus aktivis, Salsa Erwina Hutagalung, menilai ide sertifikasi pada dasarnya bisa positif. Tujuannya bisa untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Namun, ia menegaskan bahwa kondisi Indonesia belum siap untuk kebijakan tersebut. “Dalam situasi ideal, sertifikasi bisa memastikan influencer paham etika publikasi dan tidak menyebar hoaks,” ujar Salsa saat dihubungi pada Selasa (11/11/2025). “Tapi kalau melihat kondisi kita sekarang, kebijakannya terasa belum tepat.”
Perbedaan Fundamental Indonesia dan China
Salsa secara tajam menyoroti perbandingan dengan China, yang menjadi salah satu acuan Komdigi. Menurutnya, kedua negara tidak bisa disamakan begitu saja. “China adalah negara komunis dengan kontrol ketat terhadap informasi, sedangkan Indonesia menganut sistem demokrasi. Jadi konteksnya berbeda,” tegasnya.
Ia menjabarkan perbedaan infrastruktur. Di China, kecepatan internet tetap mencapai ratusan Mbps dengan kontrol arus informasi yang sangat ketat. Sebaliknya, Indonesia masih berjuang. Kecepatan internet seluler median pertengahan 2024 hanya sekitar 28 Mbps, salah satu yang paling lambat di Asia Tenggara. Selain itu, biaya akses masih tinggi. “Potensi digital di sektor pendidikan, ekonomi kreatif, sampai kerja influencer ikut tersendat,” ungkap Salsa.
Prioritas yang Dipertanyakan dan Fondasi yang Rapuh
Salsa mengkritik prioritas pemerintah. Ia merasa wacana Sertifikasi Influencer adalah langkah yang melompati masalah lebih besar dan mendesak. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus memperbaiki fondasi digital terlebih dahulu.
“Belum lagi judi online merajalela, pejabat publik belum melek digital, dan kebocoran data pribadi terus terjadi. Dalam kondisi begini, bicara sertifikasi influencer itu tidak masuk akal secara prioritas,” katanya. Menurutnya, yang lebih mendesak adalah memperluas akses internet, memberantas judi online secara serius, meningkatkan literasi digital pejabat, dan memperkuat perlindungan data pribadi. “Kalau fondasi itu sudah kuat, baru bicara sertifikasi. Bukan untuk membatasi, tapi untuk membangun kepercayaan publik,” tambahnya.
Kekhawatiran Sertifikasi Influencer Sebagai Alat Represi
Pendapat senada datang dari komika sekaligus influencer Yudha Ramadhan (Yudha Keling). Ia tidak menolak sertifikasi secara mutlak. Yudha mengaku tengah mengikuti proses sertifikasi di sektor keuangan sesuai POJK Nomor 13/2024, yang mewajibkan influencer pasar modal memiliki izin penasihat investasi.
“Kalau di pasar modal saya bisa paham tujuannya, karena untuk mencegah pom-pom saham,” kata Yudha, Senin (10/11/2025). Akan tetapi, ia menolak keras jika pemerintah menerapkan sistem serupa secara umum untuk semua topik. “Itu terkesan membatasi ruang berekspresi,” katanya.
Yudha lebih lanjut menyoroti potensi penyalahgunaan kebijakan ini. Ia menilai pemerintah seharusnya fokus menegakkan aturan yang sudah ada, seperti UU ITE, ketimbang membuat regulasi baru yang tumpang tindih dan berpotensi represif. “Kalau takut hoaks, ya tegakkan saja hukum yang berlaku,” ujarnya. Kekhawatiran utamanya terletak pada definisi “hoaks” yang terlalu abu-abu dan rawan disalahartikan. Baginya, regulasi ini bisa menjadi alat pembungkam ekspresi. “Kalau seseorang menyampaikan opini yang tidak sejalan dengan pandangan umum, apakah itu otomatis hoaks?” tanyanya.
Dukungan Bersyarat: Sertifikasi Influencer Berbasis Risiko
Dari pihak legislatif, Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini memberikan pandangan yang lebih berimbang. Ia menyatakan bahwa Sertifikasi Influencer dapat menjadi langkah baik. Syaratnya, kebijakan ini harus berbasis risiko (risk-based) dan tidak mematikan kreativitas.
“Saya mendukung kebijakan ini untuk meningkatkan profesionalisme, terutama pada konten berisiko tinggi seperti kesehatan, keuangan, hukum, dan pendidikan,” ujar Amelia. Ia menegaskan, ini bukan izin berbicara, melainkan uji kompetensi untuk melindungi publik dari misinformasi di area sensitif. “Desainnya harus proporsional dan jelas ukuran kompetensinya,” ujarnya.
Pengamat komunikasi politik, M. Jamiluddin Ritonga, juga melihat sertifikasi sebagai sebuah keniscayaan profesionalisme. “Kalau influencer dianggap profesi, maka mereka dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan, dan etika. Sertifikasi dibutuhkan untuk memastikan kompetensi itu,” ujarnya. Namun, Jamiluddin memberi batasan tegas. Sertifikasi hanya boleh mengatur tiga aspek: pengetahuan, keahlian, dan etika profesional. “Kalau keluar dari tiga aspek itu, risikonya jadi pembatasan kebebasan berekspresi,” tegasnya.
Kebijakan Masih Dikaji, Belum Ada Keputusan Final
Kemenkomdigi sendiri, melalui Kepala BPSDM Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengonfirmasi bahwa kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan internal. Ini bergulir setelah mereka mengkaji praktik regulasi di China.
“Karena informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Dan ini menarik… kita lagi bahas gimana isu ini,” ujar Bonifasius beberapa waktu lalu.
Wacana ini pun menempatkan pemerintah di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk melindungi publik dari misinformasi di area berisiko tinggi. Di sisi lain, ada kekhawatiran besar bahwa regulasi yang tidak dirancang dengan hati-hati hanya akan menjadi alat baru untuk membungkam kritik dan menyempitkan ruang demokrasi di Indonesia.
