Retconomynow.com – (JAKARTA, 11 November 2025) – Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Mohammad Syafii mengungkapkan fakta mengkhawatirkan mengenai kesiapan operasional lembaganya. Efisiensi anggaran yang diterapkan pada tahun 2025 disebut telah menghambat secara serius proses Pemeliharaan Alutsista Basarnas, yang mencakup kapal negara dan helikopter penyelamat. Akibatnya, sejumlah alat utama (alut) vital tidak dapat dirawat secara optimal, yang berpotensi menurunkan kesiapan dalam merespons bencana dan kecelakaan.
Pernyataan ini disampaikan Syafii dalam Rapat Kerja (Raker) krusial bersama Komisi V DPR RI pada Selasa (11/11/2025). Paparan tersebut menyoroti dilema yang dihadapi Basarnas: di satu sisi, tuntutan operasi SAR (Search and Rescue) di negara rawan bencana seperti Indonesia sangat tinggi; di sisi lain, lembaga ini harus bergulat dengan pemblokiran anggaran yang berdampak langsung pada perawatan armada.
Efisiensi Anggaran Hambat Docking Kapal SAR
Syafii merinci dampak pemangkasan anggaran pertama, yakni pada armada laut. Ia menjelaskan bahwa Basarnas sebenarnya telah menjadwalkan docking (perawatan besar dan perbaikan dok) untuk 23 unit kapal negara yang sudah jatuh tempo perawatan pada tahun 2025. Docking adalah proses vital untuk memastikan kelaiklautan kapal, membersihkan badan kapal dari teritip, dan memeriksa integritas mesin serta struktur.
Namun, Syafii menegaskan bahwa realitas anggaran jauh dari ideal. “Kami sampaikan untuk kegiatan pemeliharaan sarana prasarana SAR. Yang pertama, pemeliharaan kapal dilaksanakan untuk kapal yang memasuki jadwal docking sebenarnya sebanyak 23 kapal,” ujar Syafii di hadapan anggota dewan.
Ia melanjutkan, “Namun, dengan adanya keterbatasan anggaran di tahun 2025, hanya mampu melaksanakan docking 14 kapal dan telah terlaksana 8 kapal.”
Angka ini menunjukkan lubang kesiapan yang signifikan. Ada 9 kapal (23 dikurangi 14) yang seharusnya dirawat namun terpaksa ditunda. Lebih lanjut, dari 14 yang dianggarkan pun, baru 8 yang selesai. Penundaan docking tidak hanya melanggar standar perawatan rutin, tetapi juga meningkatkan risiko kegagalan teknis saat kapal sedang menjalankan misi penyelamatan di tengah laut.
Keterbatasan Pemeliharaan Alutsista Basarnas Pangkas Operasi Helikopter
Masalah tidak berhenti di armada laut. Syafii juga memaparkan bahwa Pemeliharaan Alutsista Basarnas di armada udara mengalami nasib serupa. Helikopter, yang merupakan tulang punggung untuk evakuasi medis cepat, pencarian udara, dan penjangkauan lokasi sulit, kini sangat terbatas operasinya.
Basarnas tercatat memiliki total 12 unit helikopter. Idealnya, sebagian besar armada ini harus dalam kondisi siap terbang (standby) untuk merespons panggilan darurat yang bisa datang kapan saja. Akan tetapi, Syafii mengungkapkan bahwa keterbatasan dana perawatan memaksa Basarnas mengandangkan sebagian besar armadanya.
“Pemeliharaan pesawat helikopter. Basarnas memiliki 12 helikopter yang harus dipelihara, namun dengan adanya keterbatasan anggaran, hanya kita operasikan atau Basarnas mengoperasikan 5 pesawat secara bergantian,” kata Syafii.
Mengoperasikan hanya 5 dari 12 helikopter secara bergantian berarti jam terbang kelima unit tersebut akan melonjak drastis. Akibatnya, unit-unit tersebut akan lebih cepat aus dan membutuhkan perawatan lebih intensif di kemudian hari, menciptakan lingkaran setan masalah pemeliharaan. Sementara itu, 7 helikopter lainnya praktis tidak dapat digunakan karena menunggu giliran perawatan atau ketersediaan suku cadang yang terhambat anggaran.
*Fluktuasi Anggaran Hambat Pemeliharaan Alutsista Basarnas
Untuk memberikan konteks atas permasalahan ini, Syafii membedah alokasi anggaran Basarnas tahun 2025. Ia menerangkan bahwa pada awalnya, Basarnas memperoleh pagu anggaran sebesar Rp 1.497.578.812.000. Namun, di awal tahun, terdapat kebijakan efisiensi berupa pemblokiran anggaran (automatic adjustment) yang sangat besar, mencapai Rp 409.147.242.000.
Pemblokiran ini memangkas anggaran yang dapat digunakan Basarnas menjadi hanya sekitar Rp 1,08 triliun. Meskipun pemblokiran ini bertujuan untuk efisiensi nasional, dampaknya sangat terasa bagi lembaga operasional seperti Basarnas. Syafii menjelaskan bahwa setelah melalui proses administrasi dan pembicaraan, Basarnas mendapat dua kali relaksasi anggaran.
“Setelah itu, Basarnas mendapat relaksasi anggaran sebesar Rp 126,98 miliar, kemudian pada 16 Juli 2025, relaksasi kedua sebesar Rp 272,29 miliar,” jelasnya.
Dengan demikian, anggaran yang masih terblokir hingga saat ini tersisa Rp 9,88 miliar. “Pagu anggaran Basarnas setelah dikurangi blokir menjadi Rp 1,487 triliun,” kata Syafii. Fluktuasi inilah yang diduga kuat mengganggu perencanaan kontrak pemeliharaan jangka panjang, karena Pemeliharaan Alutsista Basarnas (kapal dan heli) membutuhkan kepastian anggaran, bukan skema “blokir-relaksasi”.
*Syafii: Risiko Gagal Operasi Akibat Masalah Pemeliharaan Alutsista Basarnas
Kepala Basarnas tidak ragu menyebutkan dampak akhir dari seluruh persoalan anggaran ini. Ia secara lugas menyatakan bahwa pengurangan perawatan dan operasional ini secara langsung menurunkan kesiapan alat utama untuk melakukan operasi SAR. Ini adalah sebuah peringatan serius bagi negara maritim dan “Cincin Api” seperti Indonesia.
“Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut di atas adalah menyebabkan sarana tidak dapat terpelihara dengan maksimal,” tegas Syafii.
Dalam konteks SAR, “tidak maksimal” berarti risiko kegagalan operasi. Kesiapan alutsista adalah faktor non-negosiasi. Sebuah helikopter yang gagal mesin saat evakuasi atau kapal yang tidak bisa berlayar cepat akibat masalah teknis dapat berarti perbedaan antara hidup dan mati bagi korban bencana. Oleh karena itu, Raker ini menjadi sangat penting, sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban sekaligus permintaan mendesak kepada DPR agar masalah Pemeliharaan Alutsista Basarnas ini menjadi prioritas utama ke depan.
