Retconomynow.com – 10 November 2025 – Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg, memberikan pernyataan tegas mengenai konflik di Eropa Timur. Ia mengatakan bahwa negara-negara sekutu tidak akan mengirimkan tentara ke Ukraina. Alasan utamanya sangat jelas: langkah tersebut dapat memicu perang langsung dengan Rusia. Konsekuensinya, ini bisa berarti eskalasi menjadi Perang Dunia III. Stoltenberg menegaskan bahwa keputusan untuk tidak mengirim pasukan NATO ke Ukraina adalah pilar kebijakan aliansi sejak awal invasi.
Pernyataan ini menggarisbawahi dilema inti yang dihadapi aliansi transatlantik tersebut. Yaitu, bagaimana cara mendukung kedaulatan Ukraina secara penuh tanpa memprovokasi konflik global. Sikap ini telah menjadi garis batas yang dijaga ketat oleh Washington dan Brussels, meskipun ada tekanan berkelanjutan dari Kyiv untuk mendapatkan perlindungan yang lebih langsung.
Dua Keputusan Krusial NATO di Awal Invasi
Stoltenberg mengenang kembali pertemuan penting di Brussels. Pertemuan ini terjadi tepat setelah perang Rusia-Ukraina pecah pada Februari 2022. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan The Times, ia mengungkapkan bahwa anggota NATO kala itu membuat dua keputusan strategis yang fundamental. Dua keputusan ini membentuk respons kolektif Barat hingga hari ini.
“Pertama, meningkatkan dukungan kami untuk Ukraina, seperti yang telah kami lakukan,” ujarnya. Keputusan ini, menurutnya, langsung direalisasikan melalui pengiriman senjata, bantuan finansial, dan dukungan intelijen dalam skala masif. Ini adalah komitmen untuk memastikan Ukraina dapat mempertahankan diri.
“Kedua, melakukan apa pun yang kami bisa untuk mencegah perang ini meluas,” lanjut Stoltenberg. Pencegahan eskalasi menjadi prioritas utama. Tujuannya adalah agar konflik tidak keluar dari Ukraina dan menjadi perang skala penuh antara Rusia dan NATO. Sikap ini mendasari mengapa pengiriman pasukan aliansi tidak pernah dianggap sebagai opsi yang layak di atas meja.
Kebijakan Biden dan Peringatan Keras Putin Soal Pasukan Barat
Sikap hati-hati NATO ini juga diambil dengan mempertimbangkan peringatan keras yang berulang kali datang dari Moskow. Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidatonya September lalu, telah menyatakan dengan tegas. Ia menegaskan bahwa Moskow akan menganggap personel militer Barat yang tidak sah di Ukraina sebagai target yang sah. Selain itu, Putin juga secara konsisten menekankan bahwa ambisi Ukraina untuk bergabung dengan NATO merupakan salah satu casus belli atau penyebab utama konflik dari perspektif Rusia.
Oleh karena itu, sikap dari pemimpin de-facto NATO, Amerika Serikat, menjadi sangat penting. Stoltenberg mengutip pernyataan Presiden AS saat itu, Joe Biden, yang sangat lugas dan tidak ambigu. Biden menegaskan komitmen AS untuk menghindari eskalasi total dengan kekuatan nuklir lain. “Kami tidak akan mengambil risiko Perang Dunia III demi Ukraina,” kata Biden kala itu, seperti dikutip Stoltenberg. Pernyataan ini secara efektif menjadi garis batas yang tidak akan dilanggar oleh aliansi.
Alasan Penolakan Pengiriman Pasukan NATO ke Ukraina
Stoltenberg juga menceritakan salah satu momen paling dramatis dan menyentuh di awal perang. Ia menerima panggilan telepon langsung dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Panggilan itu dilakukan dari lokasi yang dirahasiakan di ibu kota yang terkepung. “Dia menelepon saya dari sebuah bunker di Kyiv,” kenang Stoltenberg. Dalam panggilan yang emosional itu, Zelensky menunjukkan pemahamannya atas situasi sulit yang dihadapi aliansi.
“Dia berkata: ‘Saya paham Anda tidak mengirimkan pasukan darat NATO, meskipun saya tidak setuju’,” kata Stoltenberg menirukan Zelensky. Namun, Zelensky memiliki permintaan lain yang ia yakini dapat mengubah jalannya perang tanpa melibatkan pasukan darat. “‘Tapi tolong tutup wilayah udara’,” lanjutnya, sebuah permintaan untuk no-fly zone.
Permintaan ini menempatkan NATO dalam dilema terbesar. Menolak permintaan sekutu yang sedang diserang terasa menyakitkan. Akan tetapi, Stoltenberg menjelaskan bahwa menegakkan no-fly zone bukan sekadar deklarasi. Itu berarti pesawat NATO harus siap menembak jatuh pesawat Rusia yang melanggar. Akibatnya, ini adalah eskalasi langsung yang paling ingin dihindari aliansi. Menolak permintaan ini, yang diakui Stoltenberg sebagai keputusan “sangat menyakitkan”, sejalan dengan kebijakan fundamental untuk tidak mengirim pasukan NATO ke Ukraina.
Kontradiksi Kebijakan: Dukungan Senjata vs. Absensi Pasukan NATO
Seiring berjalannya perang, Zelensky dan para pejabat Ukraina lainnya terus mendesak NATO untuk mengambil langkah lebih jauh. Termasuk kemungkinan mengerahkan pasukan darat dalam misi penjaga perdamaian atau pelatihan di dalam negeri. Stoltenberg secara terbuka mengakui adanya apa yang tampak sebagai unsur kontradiksi dalam sikap aliansi. Di satu sisi, NATO secara vokal dan serempak menyatakan ingin Kyiv menang dan kedaulatannya pulih. Di sisi lain, aliansi dengan tegas menolak mengerahkan pasukannya sendiri ke Ukraina.
Sikap ini membuat NATO hanya berfokus pada pengiriman senjata, amunisi, dan intelijen. Namun, Stoltenberg tetap membela pendekatan ini sebagai satu-satunya jalan yang bertanggung jawab. Ia menambahkan bahwa dirinya yakin ini adalah “pendekatan yang tepat”. Logika di balik strategi ini pada dasarnya adalah proxy support atau dukungan tidak langsung. Aliansi memberikan Ukraina semua alat yang dibutuhkan untuk berperang, tanpa harus mempertaruhkan nyawa tentara NATO. Ini meminimalkan risiko bagi negara-negara anggota.
Visi Gencatan Senjata dan Penolakan Keterlibatan Langsung Aliansi
Stoltenberg memiliki visi tentang bagaimana perang ini pada akhirnya bisa berakhir, meski bukan dalam waktu dekat. Ia menegaskan bahwa blok ini perlu memasok lebih banyak senjata canggih ke Ukraina. Tujuannya adalah untuk memperkuat posisi Kyiv di medan perang secara signifikan. Harapannya, posisi yang kuat ini suatu saat akan “memaksa” Moskow untuk duduk di meja perundingan dan menyetujui gencatan senjata. Gencatan senjata ini, idealnya, harus sejalan dengan garis kontak yang diusulkan oleh Kyiv dan didukung oleh Barat.
Namun, Rusia melihat proposal ini secara fundamental berbeda. Moskow telah berulang kali menolak gagasan gencatan senjata semacam itu. Kremin berargumen bahwa Ukraina dan para pendukung NATO-nya hanya akan menggunakan jeda tersebut untuk tujuan militer. Mereka dituduh akan menggunakannya untuk mempersenjai kembali pasukan Ukraina. Selain itu, jeda tersebut diyakini akan dipakai untuk membangun garis pertahanan baru yang lebih kuat. Bagi Moskow, gencatan senjata sementara bukanlah solusi. Rusia menegaskan bahwa konflik ini membutuhkan solusi permanen untuk mengatasi akar penyebab perang.
