Retconomynow.com – (5 November 2025) — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti ironi besar dari dana pemerintah mengendap dalam pengelolaan keuangan negara. Ia mengungkapkan bahwa dana “nganggur” dalam jumlah masif di perbankan ini justru menimbulkan beban biaya baru bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah terpaksa harus membayar bunga utang, yang ia perkirakan mencapai kisaran 6 persen, untuk uang yang pada dasarnya tidak terpakai tersebut. Dana ini mencakup anggaran milik kementerian, lembaga (K/L), maupun pemerintah daerah (pemda) yang belum mereka realisasikan menjadi belanja produktif.
Situasi ini menempatkan keuangan negara dalam posisi yang sangat tidak efisien. Di satu sisi, pemerintah aktif mencari pembiayaan untuk menutup defisit anggaran. Namun di sisi lain, dana yang sudah teralokasi ternyata tidak segera berputar untuk menggerakkan perekonomian. Oleh karena itu, Purbaya secara tegas mendorong seluruh instansi untuk segera merealisasikan belanja mereka. Mereka harus segera mengurangi tumpukan dana di bank. Fenomena ini bukan hanya sekadar isu administratif, melainkan telah menjadi masalah fiskal yang serius.
Beban Ganda di Pundak APBN
Dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komite IV DPD RI di Senayan, Jakarta, Purbaya memaparkan dengan lugas konsekuensi dari penyerapan anggaran yang lambat. Ia menjelaskan bahwa setiap rupiah yang pemerintah anggarkan dalam APBN, sebagian di antaranya berasal dari utang. Ketika anggaran tersebut hanya berpindah dari kas negara ke rekening instansi di bank, uang tersebut secara efektif menjadi tidak produktif. Para instansi itu tidak segera membelanjakannya.
“Kalau enggak (dipakai), kan uangnya nganggur. Satu, saya bayar bunga untuk uang yang enggak dipakai,” kata Purbaya. Ia menyambung, “Karena setiap rupiah yang kita anggarkan itu pada dasarnya sebagian utang. Mungkin sebagian besar utang, ada komponen utangnya di situ. Kalau enggak dipakai, saya akan membayar bunga utang untuk uang yang enggak dipakai.”
Pemerintah menanggung beban bunga utang hingga 6 persen untuk setiap dana pemerintah mengendap ini. Kondisi ini menciptakan beban ganda yang merugikan. Pertama, negara harus tetap membayar cicilan bunga atas utang yang mendanai anggaran tersebut. Kedua, negara kehilangan potensi multiplier effect (efek berganda) ekonomi. Efek ini seharusnya bisa tercipta jika dana itu berputar di masyarakat. Akibatnya, alih-alih mendorong pertumbuhan, dana tersebut justru menjadi beban pasif bagi APBN.
Rincian Fantastis Dana Mengendap Rp653,4 Triliun
Untuk memberikan gambaran mengenai skala masalah ini, Kementerian Keuangan membeberkan data terbaru. Hingga akhir Agustus 2025, total dana pemerintah mengendap di sistem perbankan nasional telah mencapai angka fantastis sebesar Rp653,4 triliun. Angka ini terbagi menjadi dua komponen besar. Sebesar Rp399 triliun merupakan dana milik pemerintah pusat yang parkir di rekening kementerian dan lembaga. Sementara itu, sisanya sebesar Rp254,4 triliun adalah milik pemerintah daerah (pemda) yang belum terpakai.
Jika kita rinci lebih dalam, distribusi simpanan ini terbagi dalam tiga pos utama. Pos terbesar adalah giro. Simpanan di pos ini mencatatkan nilai Rp357,4 triliun. Giro merupakan rekening koran yang seharusnya paling likuid dan siap untuk transaksi kapan saja. Besarnya simpanan di giro ini mengindikasikan bahwa dana tersebut sebenarnya siap untuk dibelanjakan. Akan tetapi, eksekusinya tertunda.
Pos kedua adalah simpanan berjangka atau deposito, yang nilainya mencapai Rp285,6 triliun. Ini menjadi catatan yang lebih serius. Ketika pemda atau kementerian menempatkan dana pemerintah dalam deposito, ini menunjukkan adanya niat untuk “menyimpan” uang tersebut dalam jangka waktu tertentu. Praktik ini tentu bertentangan dengan prinsip belanja negara yang harus cepat, tepat, dan produktif. Pos terakhir adalah tabungan biasa senilai Rp10,4 triliun.
Menelisik Akar Masalah Lambatnya Penyerapan Anggaran
Persoalan dana pemerintah mengendap bukanlah fenomena baru. Akarnya pun cukup kompleks. Lambatnya penyerapan anggaran seringkali terjadi karena beberapa faktor klasik. Pertama, adalah masalah perencanaan. Banyak program atau proyek yang anggarannya sudah disetujui. Namun, dokumen teknis seperti Detail Engineering Design (DED) atau proses pembebasan lahan belum rampung. Akibatnya, anggaran sudah cair, tetapi pekerjaan fisik belum bisa mereka mulai.
Kedua, adalah kendala administratif dan birokrasi. Proses lelang atau tender pengadaan barang dan jasa yang panjang dan berbelit-belit seringkali memakan waktu berbulan-bulan. Hal ini jelas menunda pencairan anggaran hingga kuartal kedua atau bahkan ketiga tahun berjalan.
Ketiga, kita tidak dapat memungkiri adanya faktor “ketakutan” di kalangan pejabat pembuat komitmen (PPK). Banyak pejabat khawatir akan potensi kriminalisasi atau masalah hukum di kemudian hari. Hal ini membuat mereka menjadi terlalu berhati-hati dan kaku dalam mengeksekusi anggaran. Pada akhirnya, ini berujung pada lambatnya realisasi belanja.
Ultimatum Purbaya: Realokasi Anggaran di Pertengahan Tahun
Menghadapi masalah kronis ini, Purbaya Yudhi Sadewa tidak akan berdiam diri. Ia telah menyiapkan sebuah mekanisme tegas untuk “memaksa” instansi agar lebih disiplin. Purbaya menyatakan bahwa ia akan memantau secara ketat realisasi penyerapan anggaran hingga pertengahan tahun depan.
“Sekarang kan akhir Oktober, jadi pertengahan tahun depan kami akan asesmen, ekstrapolasi sampai akhir tahun,” tegas Purbaya. Ia menjelaskan bahwa jika dalam asesmen pertengahan tahun tersebut sebuah K/L terlihat tidak mampu, Kementerian Keuangan akan segera mengambil langkah tegas. Jika progresnya tidak optimal untuk menghabiskan anggaran, pemerintah akan bertindak.
“Begitu enggak bisa belanjain, di pertengahan tahun sudah kami realokasikan,” katanya. Pemerintah tidak akan membiarkan dana tersebut menganggur lebih lama. Sebaliknya, pemerintah akan memindahkannya ke program-program lain. Program-program ini harus lebih siap, lebih cepat eksekusinya, dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian nasional. Ultimatum “use it or lose it” ini diharapkan dapat menjadi terapi kejut. Tujuannya agar K/L dan pemda tidak lagi menunda-nunda realisasi belanja mereka.
