ICRC Serukan Aksi Global Hentikan Pembantaian di Sudan

Pembantaian di Sudan
0 0
Read Time:4 Minute, 24 Second

Retconomynow.com – (Jenewa, 1 November 2025) — Komite Internasional Palang Merah (ICRC) telah mengeluarkan seruan darurat yang paling keras hingga saat ini. Mereka mendesak para pemimpin dunia untuk segera mengambil langkah konkret dan signifikan guna menghentikan apa yang mereka sebut sebagai pembantaian di Sudan. Presiden ICRC, Mirjana Spoljaric, menggambarkan situasi kemanusiaan, terutama di kota El-Fasher yang baru saja jatuh, sebagai “bencana kemanusiaan” berskala masif. Menurutnya, warga sipil kini menjadi korban utama dari kekejaman sistematis dan pelanggaran hukum perang yang tak terkendali.

Pernyataan yang dirilis dari Jenewa ini datang di tengah laporan eskalasi kekerasan yang brutal setelah ibu kota Darfur Utara, El-Fasher, dikuasai oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah pengepungan selama berbulan-bulan. ICRC, bersama dengan badan-badan bantuan lainnya, kini menyuarakan alarm paling keras. Mereka menuntut adanya keberanian politik dari komunitas internasional untuk mengintervensi dan melindungi jutaan nyawa manusia yang tidak bersalah. Kelambanan dalam bertindak, tegas mereka, akan diukur dengan jumlah korban jiwa yang terus bertambah setiap harinya.

El-Fasher: Episentrum Baru Krisis Kemanusiaan

Jatuhnya El-Fasher ke tangan RSF menandai titik balik yang mengerikan dalam konflik Sudan. Kota ini bukan hanya pusat administrasi, tetapi juga benteng terakhir bagi jutaan warga sipil dan pengungsi yang mencari perlindungan dari pertempuran di wilayah Darfur lainnya. Selama berbulan-bulan, mereka hidup dalam kepungan, dengan akses yang sangat terbatas terhadap makanan, air, dan layanan medis. Kini, dengan jatuhnya kota, harapan mereka telah sirna. Laporan-laporan awal dari kelompok hak asasi manusia melukiskan gambaran yang mengerikan: eksekusi massal, penahanan sewenang-wenang, dan serangan terarah terhadap rumah sakit yang tersisa.

Situasi ini menggemakan kembali sejarah kelam Darfur dari awal tahun 2000-an. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis sedang terjadi kembali di depan mata dunia. Oleh karena itu, seruan ICRC secara spesifik menyoroti El-Fasher sebagai mikrokosmos dari kegagalan kolektif untuk melindungi warga sipil dalam perang.

Pelanggaran Hukum Perang yang Mengerikan

Dalam pernyataannya yang emosional, Mirjana Spoljaric merinci bagaimana aturan perang yang paling mendasar sekalipun telah dilanggar secara terang-terangan dan tanpa rasa takut akan hukuman. Ia menegaskan bahwa apa yang terjadi di Sudan adalah pengabaian total terhadap hukum humaniter internasional. Akibatnya, tempat-tempat yang seharusnya menjadi zona aman—seperti rumah sakit dan rute evakuasi—kini telah berubah menjadi medan pembunuhan.

“Pelanggaran aturan perang yang mengerikan yang kita saksikan di Sudan tidak dapat dibenarkan,” kata Spoljaric. “Tidak boleh ada pasien yang terbunuh di tempat tidur rumah sakit, dan tidak boleh ada warga sipil yang ditembak saat mencoba melarikan diri dari rumah mereka untuk mencari keselamatan.”

Ia menambahkan bahwa rumah sakit dan pusat kesehatan, yang dulu didedikasikan untuk menyelamatkan nyawa, kini justru menjadi simbol kematian dan kehancuran. Selain itu, warga sipil harus menghadapi serangan membabi buta dari udara dan darat, kekerasan seksual yang merajalela sebagai senjata perang, serta penghancuran infrastruktur vital yang disengaja. Ini adalah strategi bumi hangus yang dirancang untuk menghancurkan struktur sosial dan memaksa orang-orang meninggalkan tanah mereka.

Serangan Terhadap Petugas Kemanusiaan: Melumpuhkan Harapan

Krisis kemanusiaan di Sudan semakin diperparah oleh serangan yang ditargetkan kepada para pekerja kemanusiaan. Tindakan ini merupakan kejahatan perang yang secara efektif melumpuhkan urat nadi bantuan penyelamat nyawa. Spoljaric mengutuk keras serangan-serangan ini. Ia menyoroti tragedi terbaru yang menimpa rekan-rekan mereka dari Bulan Sabit Merah Sudan, yang merupakan bagian dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

“Minggu ini saja di Kordofan Utara, lima rekan kami dari Bulan Sabit Merah Sudan terbunuh saat bertugas,” ungkapnya. Tragedi ini menggarisbawahi risiko ekstrem yang dihadapi para relawan setiap hari. Mereka bekerja di bawah todongan senjata untuk memberikan bantuan kepada mereka yang paling rentan. Lebih lanjut, Spoljaric menyatakan bahwa meskipun ICRC telah berulang kali memperingatkan pihak berperang, pelanggaran terus dilakukan tanpa adanya hukuman. Kegagalan untuk menindak para pelaku kejahatan perang inilah yang membuat siklus pembantaian di Sudan terus berlanjut.

Desakan Politik Mendesak untuk Hentikan Pembantaian di Sudan

Menghadapi situasi yang semakin memburuk, Spoljaric menekankan bahwa peringatan dan kecaman saja tidak lagi cukup. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata yang didasari oleh kemauan politik yang kuat dari para pemimpin dunia. Ia menegaskan bahwa semua negara, terutama yang memiliki pengaruh terhadap pihak-pihak yang bertikai, memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menegakkan hukum humaniter internasional.

“Para pemimpin kini harus menunjukkan keberanian politik untuk menghentikan pembunuhan,” ujarnya. Pesan ini secara implisit menantang Dewan Keamanan PBB dan kekuatan global lainnya untuk bergerak melampaui resolusi yang tidak bergigi. Ia mengingatkan bahwa komunitas internasional tidak bisa lagi tinggal diam dan membiarkan warga sipil Sudan dilucuti dari rasa aman dan martabat mereka. “Kehidupan di Sudan kini bergantung pada tindakan yang kuat dan tegas untuk menghentikan kekejaman ini,” pungkasnya.

Suara Senada dari WFP dan Ancaman Kelaparan Massal

Kekhawatiran yang sama juga disuarakan oleh Program Pangan Dunia (WFP). Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, secara terpisah menyuarakan keprihatinan mendalam atas “kekerasan yang menghancurkan” di El-Fasher. Ia menggambarkan bagaimana pertempuran brutal telah memaksa banyak keluarga untuk melarikan diri. Mereka lari dalam kondisi kelaparan dan kelelahan ekstrem.

“Serangan brutal ini harus diakhiri. Sekarang juga,” tulis McCain. Ia menggarisbawahi bahwa kekerasan ini secara langsung menghambat distribusi bantuan pangan. Eskalasi konflik telah memutus akses ke jutaan orang yang berada di ambang kelaparan. Perang saudara yang telah berkecamuk sejak April 2023 tidak hanya menyebabkan puluhan ribu kematian, tetapi juga memicu salah satu krisis pengungsian dan kelaparan terbesar di dunia saat ini, sebuah tragedi yang sepenuhnya buatan manusia.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %