Polemik Tanah Wakaf: Kemenag Tegaskan Milik Allah, Tak Bisa Jadi Agunan Bank

tanah wakaf sebagai agunan
0 0
Read Time:3 Minute, 59 Second

Retconomynow.com – 30 Oktober 2025 – Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) hari ini memberikan penegasan yang sangat fundamental mengenai status hukum tanah wakaf di Indonesia. Sekretaris Jenderal Kemenag, Kamaruddin Amin, menyatakan bahwa penggunaan tanah wakaf sebagai agunan atau jaminan pinjaman di bank adalah hal yang mustahil dan dilarang keras. Faktanya, penegasan ini menjadi sangat penting di tengah upaya pemerintah untuk memproduktifkan aset wakaf yang nilainya ditaksir mencapai ribuan triliun rupiah. Oleh karena itu, pernyataan ini sekaligus menjadi pengingat bagi para pengelola wakaf (nazhir) dan lembaga perbankan mengenai batasan hukum yang tidak bisa dilanggar.

Status Hukum yang Tak Terbantahkan: Larangan dalam UU Wakaf

Diskusi mengenai boleh atau tidaknya tanah wakaf sebagai agunan sebenarnya sudah selesai di mata hukum. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara eksplisit dan sangat tegas melarangnya. Pasal 40 dalam beleid tersebut menyatakan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk:

  • Dijadikan jaminan
  • Disita
  • Dihibahkan
  • Dijual
  • Diwariskan
  • Atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Dengan demikian, larangan ini bersifat mutlak. Tujuannya adalah untuk menjaga esensi dari wakaf itu sendiri, yaitu melestarikan pokok harta agar manfaatnya bisa terus mengalir untuk kepentingan umum (mauquf ‘alaih) sesuai dengan ikrar wakif (pemberi wakaf).

“Milik Allah, Tidak Bisa Disita”: Perspektif Religius dan Filosofis

Selain dilindungi oleh hukum negara, larangan ini juga berakar kuat pada prinsip dasar wakaf dalam hukum Islam. Kamaruddin Amin, yang juga menjabat sebagai Ketua BWI, menjelaskan hal ini dari perspektif yang lebih filosofis. Menurutnya, saat seseorang mewakafkan hartanya, kepemilikan atas harta tersebut secara hakikat telah berpindah, bukan lagi milik individu, melainkan menjadi “milik Allah”.

“Tanah wakaf itu tidak bisa dijadikan sebagai agunan di bank. Karena tidak bisa disita, karena tanah wakaf itu kan miliknya Allah, milik Tuhan, jadi tidak bisa disita,” kata Kamaruddin. Logikanya sederhana: bagaimana mungkin sebuah bank dapat menyita sesuatu yang kepemilikannya bukan lagi milik manusia? Prinsip inilah yang menjadi benteng utama yang melindungi aset wakaf dari segala bentuk risiko penyitaan atau pengalihan hak.

Tantangan Terbesar: Profesionalisme Nazhir sebagai Pengelola Amanah

Meskipun status hukumnya sudah jelas, tantangan terbesar justru terletak pada pengelolaannya. Aset wakaf yang sangat besar ini dikelola oleh para nazhir, yaitu pihak yang diberi amanah oleh wakif untuk menjaga, mengembangkan, dan menyalurkan manfaat wakaf. Akan tetapi, Kamaruddin mengakui bahwa kapasitas para nazhir di Indonesia masih sangat beragam dan perlu ditingkatkan.

“Nazhir itu adalah yang diberi amanah oleh Wakif untuk mengelola tanah wakaf itu. Nah, ini perlu kita tingkatkan kapasitasnya supaya mereka bisa memproduktifkan,” tutur dia. Banyak nazhir, terutama di daerah, yang masih mengelola wakaf secara tradisional. Akibatnya, aset wakaf seringkali hanya dibiarkan “diam” dan tidak dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih produktif. Oleh karena itu, BWI dan Kemenag kini fokus pada program-program peningkatan kapasitas dan pengetahuan bagi para nazhir. Salah satu materi penting yang selalu ditekankan adalah mengenai larangan penggunaan tanah wakaf sebagai agunan.

Potensi Ekonomi Raksasa yang “Tertidur”

Di balik tantangan pengelolaan, tersimpan sebuah potensi ekonomi yang luar biasa besar. Kamaruddin memaparkan data yang mencengangkan. Saat ini, Indonesia memiliki hampir 450.000 titik lokasi tanah wakaf. “Aset wakaf kita itu jumlahnya cukup besar. Kira-kira kalau diakses sekitar Rp 2.000 triliun, kalau ingin dikuantifikasi nilainya,” kata dia.

Angka Rp 2.000 triliun ini menunjukkan sebuah potensi raksasa yang “tertidur”. Jika sebagian kecil saja dari aset ini bisa diproduktifkan—misalnya dengan membangun pusat bisnis, agrowisata, atau properti komersial di atas tanah wakaf—maka keuntungan yang dihasilkan dapat menjadi sumber pendanaan abadi untuk berbagai program sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Bahkan, pertumbuhan aset wakaf di Indonesia sangatlah pesat, sekitar 6-7 persen setiap tahunnya, yang membuat Indonesia dijuluki sebagai negara paling dermawan di dunia.

Dilema Perbankan dan Celah yang Sering Terjadi

Lantas, bagaimana peran perbankan? Meskipun tidak bisa menerima tanah wakaf sebagai agunan, Kamaruddin justru mengajak perbankan, terutama perbankan syariah, untuk ikut terlibat. Caranya adalah dengan mempelajari model-model pembiayaan produktif yang tidak berbasis agunan. Contohnya, skema bagi hasil atau pembiayaan proyek di atas tanah wakaf. “Saya kira perbankan dengan tata kelolanya yang baik, juga hati-hati, kami mengajak mereka untuk mempelajari secara maksimal,” ucapnya.

Di sisi lain, ada satu celah hukum yang seringkali menjadi sumber masalah. Kasus penyitaan tanah wakaf oleh bank terkadang masih terjadi. Namun, ini biasanya terjadi karena sebuah kekeliruan fatal di awal. Yaitu, tanah tersebut sudah lebih dulu diagunkan ke bank oleh pemiliknya sebelum ia atau ahli warisnya mengikrarkan tanah tersebut sebagai wakaf. Dalam kasus seperti ini, hak tanggungan bank atas tanah tersebut tetap berlaku. Hal ini menekankan betapa pentingnya proses administrasi dan sertifikasi wakaf yang bersih sejak awal.

Pada akhirnya, penegasan dari Kemenag ini menjadi sangat penting. Ini adalah sebuah pagar hukum dan moral yang melindungi aset umat. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah aset “diam” senilai ribuan triliun ini menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang produktif, tanpa harus melanggar prinsip fundamentalnya. Kuncinya terletak pada inovasi dan profesionalisme para nazhir.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %