Retconomynow.com – 27 Oktober 2025 – Sebuah tuntutan Priguna Anugrah Pratama selama 11 tahun penjara akhirnya dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Faktanya, sidang yang digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Bandung pada hari Senin ini menjadi puncak dari salah satu kasus kekerasan seksual paling meresahkan yang melibatkan seorang tenaga medis. Terdakwa, yang merupakan mantan dokter program PPDS di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dituntut berat atas perbuatannya yang telah mengkhianati sumpahnya dan memangsa para pasien serta keluarga pasien yang seharusnya ia lindungi.
Detail Tuntutan Priguna Anugrah: Pidana Pokok dan Tambahan
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jawa Barat, Sri Nurcahyawijaya, menjelaskan secara rinci isi tuntutan yang JPU bacakan. Tentu saja, jaksa tidak hanya menuntut hukuman badan. Mereka juga meminta hakim menjatuhkan pidana denda dan restitusi yang signifikan.
- Pidana Pokok: JPU menuntut pidana penjara selama 11 tahun terhadap Priguna Anugrah. Selain itu, ia juga dituntut membayar denda sebesar Rp 100 juta. Dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak ia bayar, maka ia harus menggantinya dengan pidana kurungan selama enam bulan.
- Pidana Tambahan (Restitusi): Jaksa juga menuntut pidana tambahan. Pidana ini berupa kewajiban membayar restitusi atau ganti rugi kepada para korban. Perhitungan restitusi ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Total restitusi yang harus terdakwa bayar mencapai Rp 137.879.000, dengan rincian:
- Kepada korban FH sebesar Rp 79.429.000
- Kepada korban NK sebesar Rp 49.810.000
- Kepada korban FPA sebesar Rp 8.640.000
Jika restitusi ini tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara tambahan selama enam bulan. Jaksa mendasarkan tuntutan Priguna Anugrah ini pada Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Kontras di Ruang Sidang: Antara Faktor Pemberat dan Peringan
Dalam menyusun tuntutannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang saling bertolak belakang.
Faktor yang Memberatkan
Pertama, perbuatan terdakwa dinilai telah sangat meresahkan masyarakat. Kedua, dan yang paling fundamental, adalah dampak destruktif terhadap para korban. Jaksa menyatakan perbuatan Priguna telah merusak masa depan serta kehormatan para korban. Bahkan, perbuatannya menyebabkan trauma psikologis mendalam yang hingga kini masih para korban alami. Poin paling memberatkan adalah status terdakwa. “Terdakwa sebagai seorang dokter dinilai telah menyalahgunakan profesinya yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada pasien,” demikian tertulis dalam tuntutan jaksa.
Faktor yang Meringankan
Di sisi lain, jaksa juga mencatat beberapa hal yang meringankan. Di antaranya, terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. Selain itu, ia belum pernah dihukum sebelumnya. Yang paling signifikan, terdakwa telah melakukan perdamaian dengan salah satu korban, yaitu FH. Perdamaian ini disertai dengan pemberian santunan sebesar Rp 200 juta. Meskipun demikian, jaksa tetap memandang berat kejahatan yang telah ia lakukan.
Melihat Kembali Kronologi Kejahatan: Modus Bius dan Pengkhianatan
Kasus ini pertama kali terungkap pada awal Maret 2025. Saat itu, seorang korban berinisial FA (atau FH dalam rincian restitusi) sedang menjaga ayahnya yang dirawat di RSHS. Pada dini hari, Priguna, yang saat itu bertugas sebagai dokter PPDS, meminta korban untuk mengikutinya. Ia beralasan akan melakukan suatu tindakan medis. Korban pun ia bawa dari ruang IGD ke sebuah ruangan di lantai 7 Gedung MCHC.
Setelah berada di sana, Priguna meminta korban untuk berganti pakaian menggunakan baju operasi. Kemudian, ia melakukan tindakan pembiusan dengan cara menyuntikkan sebuah cairan. Tak lama setelah itu, korban kehilangan kesadarannya. Pada pukul 04.00 WIB, korban pun sadar dan kembali ke IGD. Namun, saat ia hendak buang air kecil, ia merasakan sakit yang luar biasa pada alat vitalnya. Dengan panik, ia menceritakan semua yang ia ingat kepada ibunya. Keluarga yang merasa ada kejanggalan besar akhirnya melaporkan insiden ini kepada pihak kepolisian.
Terungkapnya Korban Lain dan Eskalasi Kasus
Setelah menerima laporan, polisi segera melakukan penyelidikan mendalam. Pada tanggal 23 Maret 2024, polisi akhirnya mengamankan Priguna Anugrah Pratama. Dari sinilah, kotak pandora yang lebih mengerikan terbuka. Ternyata, FH bukanlah satu-satunya korban. Penyelidikan mengungkap adanya korban-korban lain, yang menunjukkan adanya pola perilaku predator yang dilakukan oleh terdakwa dengan memanfaatkan profesi dan posisinya.
Ujian bagi Sumpah Hipokrates dan Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, kasus tuntutan Priguna Anugrah ini lebih dari sekadar berita kriminal. Justru, ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap salah satu profesi paling mulia di dunia. Sumpah Hipokrates, yang menjadi landasan etika setiap dokter, secara tegas mewajibkan seorang dokter untuk tidak pernah melakukan kejahatan atau ketidakadilan, apalagi memanfaatkan pasiennya.
Perbuatan Priguna tidak hanya merusak kehidupan para korbannya. Tindakannya juga telah mencoreng nama baik institusi RSHS dan profesi kedokteran secara keseluruhan. Kasus ini menjadi pengingat yang sangat pahit tentang betapa rentannya posisi seorang pasien. Oleh karena itu, putusan hakim dalam kasus ini nanti akan menjadi sangat penting. Putusan tersebut tidak hanya akan menentukan nasib terdakwa. Lebih dari itu, putusan ini akan menjadi sebuah pesan. Sebuah pesan tentang seberapa serius negara melindungi warganya dari predator berkedok seragam putih.
