Wacana Mapel Bahasa Portugis Dikritik DPR: Diplomasi Prabowo atau Beban Baru Siswa?

mapel Bahasa Portugis
0 0
Read Time:3 Minute, 33 Second

Retconomynow.com – 25 Oktober 2025 – Wacana untuk menjadikan mapel Bahasa Portugis sebagai mata pelajaran di sekolah kini menuai kritik tajam dari parlemen. Faktanya, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, Bonnie Triyana, menyarankan agar gagasan yang dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto ini dikaji ulang secara mendalam. Bonnie menduga, usulan ini lebih bersifat sebagai sebuah manuver diplomasi untuk menyenangkan Presiden Brasil. Oleh karena itu, ia mempertanyakan urgensi, relevansi, dan kesiapan infrastruktur pendidikan Indonesia jika wacana ini benar-benar direalisasikan.

Di Balik Wacana: Gestur Diplomasi untuk Presiden Brasil?

Kritik utama yang Bonnie Triyana sampaikan adalah mengenai konteks di balik munculnya wacana ini. Menurutnya, usulan ini kemungkinan besar tidak lahir dari sebuah kajian akademis yang matang. Sebaliknya, ia menduga ini adalah sebuah gestur spontan dari Presiden Prabowo. Tujuannya adalah untuk menghibur tamunya, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva. Pasalnya, Presiden Prabowo menyampaikan usulan tersebut saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Lula di Jakarta.

“Mungkin Presiden sedang meng-entertain Presiden Lula sebagai bagian dari diplomasi,” kata Bonnie. Meskipun ia secara pribadi mendukung perluasan pengajaran bahasa asing, langkah ini harus didasari oleh pertimbangan strategis, bukan sekadar basa-basi diplomatik. Jika wacana ini hanya bersifat seremonial, ia khawatir hal ini justru akan menimbulkan kebingungan dan masalah baru di kemudian hari.

Pertanyaan Fundamental: Kesiapan Guru, Anggaran, dan Beban Siswa

Di luar motifnya, Bonnie, yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Sejarah DPP PDIP, menyoroti tiga masalah praktis yang paling fundamental. Ketiga masalah ini harus pemerintah jawab sebelum melangkah lebih jauh.

1. Krisis Tenaga Pengajar: “Gurunya dari Mana?”

Pertanyaan pertama dan paling krusial adalah soal ketersediaan sumber daya manusia. Jika mapel Bahasa Portugis ini akan diterapkan secara nasional, dari mana pemerintah akan mendapatkan ribuan guru yang kompeten? “Namun, lagi-lagi pertanyaannya siapa yang akan mengajar? Gurunya dari mana?” ungkap Bonnie. Tentu saja, Indonesia saat ini tidak memiliki basis penutur atau pengajar Bahasa Portugis yang masif. Akibatnya, pemerintah harus membangunnya dari nol, yang memerlukan waktu, pelatihan, dan sertifikasi.

2. Implikasi Anggaran yang Tidak Sedikit

Selanjutnya, pertanyaan ini mengarah pada masalah anggaran. Menciptakan sebuah mata pelajaran baru berskala nasional bukanlah perkara murah. Pemerintah harus mengalokasikan dana tambahan yang signifikan. Dana ini bukan hanya untuk gaji para guru baru. Lebih dari itu, anggaran juga diperlukan untuk pengembangan kurikulum, penyusunan dan pencetakan buku ajar, serta program pelatihan guru di seluruh Indonesia. “Apakah juga siap dengan anggarannya?” tanya Bonnie, menyiratkan bahwa di tengah berbagai prioritas pendidikan lain, alokasi untuk mapel Bahasa Portugis mungkin bukan yang paling mendesak.

3. Potensi Beban Baru bagi Siswa

Pada akhirnya, yang paling merasakan dampaknya adalah para siswa. Bonnie khawatir jika mata pelajaran ini diwajibkan, hal itu justru akan menjadi beban akademis baru. “Kalaupun dipelajari di sekolah, apalagi wajib, malah jadi beban siswa,” katanya. Ia menawarkan sebuah jalan tengah. Menurutnya, akan berbeda ceritanya jika mata pelajaran ini bersifat pilihan atau hanya diajarkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian, siswa yang benar-benar berminat bisa mempelajarinya tanpa merasa terbebani.

Relevansi Global: Apakah Bahasa Portugis Cukup Strategis?

Kritik Bonnie juga menyentuh aspek relevansi. Ia berpendapat, Bahasa Portugis bukanlah bahasa utama dalam pergaulan internasional saat ini. Bahasa ini juga tidak lazim digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan atau akademik global, yang masih didominasi oleh Bahasa Inggris. “Bahasa Portugis itu bukan bahasa pergaulan internasional. Bukan pula bahasa pengetahuan umum,” katanya.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada penguatan bahasa-bahasa yang sudah terbukti memiliki nilai strategis yang lebih tinggi. “Lebih baik maksimalkan mutu pengajaran bahasa Inggris,” tegasnya. Menurutnya, kemampuan Bahasa Inggris siswa di Indonesia secara umum masih perlu ditingkatkan secara masif. Selain itu, jika memang ingin menambah bahasa asing baru, ada pilihan yang jauh lebih strategis. “Atau kalau mau ada tambahan pelajaran bahasa, bahasa Mandarin jauh lebih strategis untuk diajarkan,” katanya, merujuk pada kekuatan ekonomi China yang semakin dominan di panggung dunia.

Kesimpulan: Antara Cita-cita dan Realitas Lapangan

Wacana mapel Bahasa Portugis ini menjadi sebuah studi kasus yang menarik. Ia menyoroti adanya jurang antara visi besar seorang pemimpin dengan realitas teknis di lapangan. Meskipun niat untuk mempererat hubungan diplomatik adalah hal yang baik, kebijakan publik, terutama di sektor pendidikan, harus selalu didasarkan pada kajian yang mendalam dan komprehensif. Sebelum janji manis dilontarkan, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang guru, anggaran, dan relevansi harus sudah terjawab. Jika tidak, wacana ini berisiko menjadi sekadar basa-basi politik yang justru membebani sistem pendidikan nasional.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %