“Tajam Keluar, Tumpul ke Dalam”: DPR Sentil Kejagung soal Sanksi Jaksa Korup

jaksa terima uang korupsi
0 0
Read Time:4 Minute, 5 Second

Retconomynow.com – 22 Oktober 2025 – Sebuah sentilan keras datang dari parlemen untuk Kejaksaan Agung (Kejagung). Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nasir Djamil, secara terbuka mengkritik penanganan kasus jaksa terima uang korupsi di internal Kejagung. Menurutnya, sanksi etik berupa pencopotan jabatan sama sekali tidak cukup. Faktanya, ia mendesak agar Kejagung tidak hanya “tajam keluar” dalam memberantas korupsi, tetapi juga harus berani “tajam ke dalam” dengan mengusut tuntas dugaan pidana yang melibatkan anggotanya sendiri. Kritikan ini menjadi sorotan di tengah upaya Kejagung membangun citra sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas.

Suara dari Senayan: Desakan Publik untuk Keadilan Tanpa Diskriminasi

BACA JUGA : Tom Lembong Lapor Hakim, Tuntut Akuntabilitas di Balik Vonis Gula

Nasir Djamil mengungkapkan bahwa kritiknya ini bukan hanya pandangan pribadi. Justru, ini adalah aspirasi yang ia serap langsung dari masyarakat. Dalam beberapa pertemuannya, publik secara konsisten menyuarakan kegelisahan mereka. Mereka melihat adanya standar ganda dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejagung.

“Mereka berharap melalui saya agar menyampaikan kepada Jaksa Agung agar Kejaksaan juga harus tajam keluar dan juga harus tajam ke dalam,” kata Nasir. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kasus yang melibatkan dua mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat, Hendri Antoro dan Iwan Ginting, beserta beberapa jaksa lainnya, tidak bisa berhenti di sanksi etik. Menurutnya, penegakan hukum yang adil menuntut adanya proses pidana. “Diusutlah secara pidana agar tidak menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum,” ujar politisi PKS tersebut.

Konteks Kasus: Aliran Dana Haram dari Kasus Robot Trading Fahrenheit

BACA JUGA : Jejak Korupsi CSR: KPK Sita Mobil Mewah Terkait Legislator Heri Gunawan

Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu melihat kembali ke kasus utama. Jaksa Azam Akhmad Akhsya, oknum di Kejari Jakarta Barat, terbukti melakukan pemerasan atau menerima suap. Uang tersebut berasal dari barang bukti kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit yang nilainya mencapai Rp 11,7 miliar. Seharusnya, uang tersebut dikembalikan kepada para korban yang telah merugi. Akan tetapi, Azam justru menyelewengkannya dan membagi-bagikan uang haram tersebut kepada para atasannya.

Berdasarkan surat dakwaan, aliran dana ini terdistribusi secara sistematis. Hendri Antoro dan Iwan Ginting masing-masing menerima Rp 500 juta. Selain itu, pejabat lainnya seperti Plh Kasi Pidum/Kasi BB Dody Gazali menerima Rp 300 juta, mantan Kasi Pidum Sunarto mendapat Rp 450 juta, Kasi Pidum M Adib Adam menerima Rp 300 juta, dan Kasubsi Pratut Baroto mendapat Rp 200 juta. Dengan demikian, ini bukanlah kasus individu, melainkan dugaan korupsi yang terstruktur di dalam satu institusi.

Pembelaan Kejagung: “Copot Jabatan Sudah Paling Berat”

BACA JUGA : Evaluasi Golkar: Satu Tahun Prabowo-Gibran Tunjukkan Hasil Baik, Sebagian Masih “On Progress”

Menanggapi kritik ini, Kejaksaan Agung memberikan pembelaannya. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa sanksi administratif berupa pencopotan jabatan yang mereka berikan kepada Hendri Antoro dan kawan-kawan adalah hukuman paling berat. “Yang jelas sanksinya sudah copot dari jabatan, ya kan. Sudah sanksi, sudah kena sanksi itu. Sudah paling berat itu,” ujar Anang.

Lebih lanjut, Anang juga mengklaim bahwa para pejabat Kejari Jakarta Barat yang menerima dana tersebut tidak mengetahui asal-usul uang itu. Menurutnya, mereka tidak tahu bahwa uang tersebut adalah hasil kejahatan yang Azam lakukan. Namun, argumen ini sulit diterima oleh nalar publik.

Ironi Penegak Hukum: Mengapa Argumen “Tidak Tahu” Sulit Diterima?

BACA JUGA : BLT Tambahan 300 Ribu Cair Mulai Besok, Tepat di Momen 1 Tahun Pemerintahan Prabowo

Nasir Djamil menyoroti ironi terbesar dalam kasus ini. Status para penerima uang adalah Aparat Penegak Hukum (APH). Sebagai seorang jaksa, apalagi seorang Kajari, mereka seharusnya memiliki standar integritas dan kehati-hatian yang sangat tinggi. Mustahil, menurutnya, mereka tidak memiliki “firasat” atau kecurigaan saat menerima uang ratusan juta rupiah dari seorang bawahan yang sedang menangani kasus besar.

Seorang APH dilatih untuk mengenali modus-modus kejahatan, termasuk gratifikasi dan pencucian uang. Oleh karena itu, menerima uang dalam jumlah besar tanpa justifikasi yang jelas seharusnya langsung memicu alarm di benak mereka. Argumen “tidak tahu” dari Kejagung justru terkesan naif dan seolah meremehkan kecerdasan publik. Inilah yang membuat masyarakat semakin yakin bahwa kasus jaksa terima uang korupsi ini tidak bisa selesai hanya dengan sanksi etik.

Ujian Integritas bagi Institusi Adhyaksa

BACA JUGA : Puskesmas Pango Raya Dikeluhkan Warga, Wali Kota Sidak dan Temukan Pintu Terkunci

Pada akhirnya, kasus ini telah menjadi sebuah ujian integritas yang sesungguhnya bagi Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan Jaksa Agung saat ini. Di satu sisi, Kejagung sedang gencar-gencarnya memberantas kasus-kasus korupsi besar yang menarik perhatian publik. Akan tetapi, di sisi lain, mereka dihadapkan pada “duri dalam daging” di internal mereka sendiri.

Kemampuan dan keberanian Kejagung untuk menerapkan standar yang sama—bahkan lebih keras—kepada anggotanya sendiri akan menjadi penentu dari kepercayaan publik. Jika kasus jaksa terima uang korupsi ini berhenti di sanksi etik, maka slogan “tajam ke luar, tajam ke dalam” yang didesakkan oleh DPR hanya akan menjadi retorika kosong. Sebaliknya, jika mereka berani membawanya ke ranah pidana, maka ini akan menjadi sebuah pernyataan kuat bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum di hadapan korupsi, bahkan jika ia adalah seorang jaksa sekalipun.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %