Retconomynow.com – 21 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini mengungkap sebuah fakta yang meresahkan. Hingga kini, lembaga anti-rasuah tersebut belum menemukan satu pun Surat Keputusan (SK) terkait pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat. Padahal, pemerintah telah secara gembar-gembor mengumumkan pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan surga bahari tersebut pada bulan Juni lalu. Temuan ini sontak menimbulkan pertanyaan besar mengenai keseriusan dan komitmen nyata pemerintah dalam melindungi salah satu ekosistem paling berharga di dunia.
Janji di Istana Negara yang Kini Dipertanyakan
BACA JUGA : Nasib Ammar Zoni: Titik Terendah dari Aktor Populer Menuju Napi Berisiko Tinggi
Untuk memahami konteksnya, kita perlu kembali ke bulan Juni 2025. Saat itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dalam sebuah konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, mengumumkan sebuah keputusan penting dari Presiden. Setelah melalui pertimbangan yang komprehensif, Presiden memutuskan untuk mencabut empat dari lima IUP nikel yang beroperasi di sekitar Raja Ampat.
“Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar Pulau Gag itu dicabut,” ujar Bahlil saat itu. “Jadi mulai terhitung hari ini, pemerintah telah mencabut empat IUP di Raja Ampat.” Keputusan ini disambut baik oleh para aktivis lingkungan dan publik luas. Alasannya, selain untuk menjaga kelestarian, sebagian area konsesi tambang tersebut juga tumpang tindih dengan kawasan geopark yang dilindungi. Dengan demikian, janji pemerintah saat itu terlihat sangat tegas dan final.
Realitas Pahit: KPK Tidak Menemukan Bukti SK Pencabutan Izin Tambang
BACA JUGA : Vonis Rudy Kurniawan: Ironi Sikap Sopan dalam Kasus Cabul Anggota DPRD Depok
Namun, empat bulan setelah pengumuman besar tersebut, realitas di atas kertas berbicara lain. Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi KPK Wilayah V, Dian Patria, dalam sebuah konferensi pers di Gedung KPK hari ini, mengungkapkan bahwa pihaknya tidak bisa menemukan bukti legal dari pencabutan tersebut. Faktanya, dokumen paling krusial, yaitu SK pencabutan izin tambang, seolah lenyap ditelan birokrasi.
Dian menceritakan bagaimana timnya dilempar dari satu instansi ke instansi lain. “Terus terang sampai detik ini kami belum pernah lihat SK pencabutannya,” kata Dian dengan nada prihatin. “Kami tanya ke Minerba, bilangnya di BKPM. Tanya BKPM, ‘Belum ada surat dari Minerba’. Cek lagi, ‘Oh sudah masuk suratnya, sedang diproses’.”
Proses “ping-pong” birokrasi ini membuat KPK meragukan keseriusan pemerintah. Oleh karena itu, Dian secara terbuka mempertanyakan komitmen tersebut. “Apakah serius atau tidak pemerintah mencabut 4 IUP di Raja Ampat yang diumumkan di Istana Negara, tapi sampai saat ini tidak ada dokumennya sama sekali, ya,” tambahnya.
Kerusakan yang Sudah Terjadi: Potret Pulau Manuran
BACA JUGA : Praperadilan Nadiem Makarim Ditolak, Status Tersangka Sah Menurut Hukum
Untuk memberikan gambaran tentang urgensi masalah ini, Dian Patria menunjukkan sebuah potret satelit yang mengerikan. Ia menyoroti kondisi Pulau Manuran, salah satu pulau di Raja Ampat yang izin tambangnya termasuk dalam daftar yang seharusnya dicabut. Citra satelit menunjukkan bahwa hampir 70 persen dari total luas pulau kecil tersebut telah habis dikeruk oleh aktivitas pertambangan.
“Nah, ini contoh, lihat yang merah-merah itu. Ini Pulau Manuran yang kemarin dicabut di Raja Ampat. Dia itu hampir habis pulaunya 70% itu,” jelas Dian. Potret ini menjadi bukti nyata dari kerusakan lingkungan masif yang telah terjadi. Akibatnya, ketiadaan SK pencabutan izin tambang yang sah secara hukum membuat status “pencabutan” tersebut menjadi sangat rapuh dan berisiko.
Analisis Birokrasi: Di Mana Letak Hambatannya?
Secara prosedur, proses pencabutan izin memang melibatkan beberapa instansi. Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba adalah pihak yang melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi teknis. Namun, kewenangan untuk mencabut izin secara final berada di tangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terutama untuk izin-izin yang diterbitkan melalui sistem Online Single Submission (OSS).
“Yang mencabut itu nanti dari BKPM. Karena izinnya OSS, BKPM, mereka yang cabut,” konfirmasi Dian. Dengan demikian, kemandekan ini kemungkinan besar terjadi karena adanya hambatan komunikasi atau koordinasi antara Minerba dan BKPM. Entah karena surat rekomendasi yang belum lengkap, atau karena adanya proses internal di BKPM yang berjalan lambat.
Dampak Status Quo dan Ancaman Tersembunyi
Meskipun Dian menyebut bahwa berdasarkan laporan dari lapangan saat ini tidak ada lagi aktivitas penambangan (status quo), ketiadaan SK pencabutan izin tambang menciptakan sebuah bom waktu hukum. Tanpa adanya dokumen legal yang berkekuatan hukum tetap, status keempat perusahaan tersebut secara de jure masih memegang IUP yang aktif.
Artinya, secara teoretis, mereka bisa saja kembali melakukan aktivitas penambangan di masa depan dengan berlindung di balik izin yang belum secara resmi dicabut. Justru, inilah bahaya terbesarnya. Pengumuman di Istana Negara tidak memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan sebuah izin. Hanya SK resmi yang bisa melakukannya. Oleh karena itu, selama SK tersebut belum terbit, ancaman terhadap ekosistem Raja Ampat masih sangat nyata.
Panggilan untuk Transparansi dan Kepastian Hukum
Pada akhirnya, temuan KPK ini lebih dari sekadar masalah administrasi. Sebaliknya, ini adalah sebuah ujian bagi transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum dari pemerintahan. Publik kini menuntut bukti nyata, bukan sekadar janji atau pengumuman seremonial. Fungsi supervisi yang dijalankan oleh KPK dalam kasus ini menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa komitmen pemerintah terhadap pelestarian lingkungan benar-benar dieksekusi hingga tuntas.
Nasib Raja Ampat, salah satu surga keanekaragaman hayati laut terakhir di planet ini, kini bergantung pada selembar kertas yang keberadaannya masih menjadi misteri. Publik menanti, apakah pemerintah akan segera menuntaskan proses birokrasi dan menerbitkan SK pencabutan izin tambang tersebut, ataukah janji yang diucapkan di Istana hanya akan menjadi retorika tanpa eksekusi.
