Hapus Utang KPR Rp1 Juta: Solusi Inklusif atau Bom Waktu Moral Hazard?

hapus utang KPR
0 0
Read Time:4 Minute, 20 Second

17 Oktober 2025 – Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, melontarkan sebuah wacana kebijakan yang radikal. Rencananya adalah melakukan hapus utang KPR di bawah Rp 1 juta bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tujuannya mulia: membuka kembali akses bagi mereka yang terganjal catatan kredit macet kecil untuk bisa mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi. Namun, di balik niat baik tersebut, para ekonom dan analis mengingatkan adanya pedang bermata dua. Kebijakan ini berpotensi menjadi solusi inklusif yang menggerakkan ekonomi, atau justru menjadi bom waktu moral hazard yang merusak disiplin keuangan masyarakat.

Latar Belakang Kebijakan: Keluhan Pengembang dan Jerat SLIK OJK

BACA JUGA : Putusan MA Tendang PIK 2 dari PSN: Analisis Lengkap Cacat Hukum di Baliknya

Gagasan ini tidak muncul dari ruang hampa. Faktanya, ini adalah respons langsung terhadap keluhan yang datang dari para pengembang perumahan subsidi. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, sebelumnya telah melaporkan masalah ini kepada Menkeu Purbaya. Menurut para pengembang, banyak calon konsumen MBR yang potensial justru ditolak oleh bank. Penolakan ini bukan karena mereka tidak mampu membayar cicilan KPR, melainkan karena nama mereka tercatat “merah” di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ironisnya, catatan merah ini seringkali disebabkan oleh tunggakan utang yang sangat kecil, bahkan di bawah Rp 1 juta, seperti utang cicilan barang atau pinjaman daring. “Saya juga sampaikan berbagai masalah salah satunya soal SLIK OJK yang menjadi keluhan pengembang,” ujar Maruarar. Oleh karena itu, kebijakan hapus utang KPR ini pada dasarnya adalah upaya untuk membersihkan ganjalan administratif tersebut.

Mekanisme dan Target Pemerintah

Menanggapi keluhan tersebut, Menkeu Purbaya bergerak cepat. Ia menyatakan telah meminta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) untuk segera mendata jumlah calon debitur yang mengalami masalah ini. Informasi awal menyebutkan angkanya bisa mencapai lebih dari 100 ribu orang. Selain itu, ia juga akan segera berkoordinasi dengan OJK untuk merumuskan landasan hukum dari kebijakan pemutihan ini.

“Saya minta tadi, hari Senin pekan depan apakah betul ada 100 ribu lebih orang yang seperti itu,” jelas Purbaya. “Minggu depan Kamis mungkin saya akan ke OJK sehingga diharapkan sudah clear bisa apa tidak, harusnya bisa.” Purbaya bahkan menyambut baik informasi bahwa beberapa pengembang bersedia menalangi pembayaran utang kecil tersebut, yang akan semakin mempermudah proses.

Pedang Bermata Dua: Analisis Risiko “Moral Hazard”

BACA JUGA : Strategi Warren Buffett Hadapi Inflasi: Keahlian dan Bisnis Efisien

Meskipun secara sosial terdengar baik, para ahli ekonomi mengingatkan adanya risiko besar yang mengintai, yaitu moral hazard. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menyebut bahwa kebijakan ini perlu kehati-hatian tingkat tinggi. “Masyarakat bisa berasumsi bahwa utang kecil akan selalu dihapuskan di masa depan,” katanya. Akibatnya, ini bisa menciptakan preseden buruk. Orang bisa dengan sengaja menunggak utang-utang kecil dengan harapan akan diputihkan lagi oleh pemerintah di kemudian hari.

Ekonom CELIOS, Nailul Huda, menambahkan adanya potensi ketidakadilan. “Bisa jadi kemampuan bayar orang yang (utangnya) Rp 1,1 juta lebih baik tetapi tidak mendapatkan pemutihan,” ujarnya. Hal ini menyoroti kelemahan dari penggunaan batasan nominal utang sebagai satu-satunya kriteria.

Bukan Soal Besaran, Tapi Kemampuan Bayar

Nailul Huda lebih lanjut menekankan bahwa kunci dari kelayakan kredit seharusnya bukan pada besaran utang yang tertunggak, melainkan pada kemampuan bayar calon debitur. Bank, menurutnya, seharusnya sudah memiliki mekanisme untuk menilai ini melalui Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). “Jadi saya rasa kuncinya bukan di besaran utang yang terutang, namun di kemampuan bayarnya,” katanya.

Logikanya, jika seorang calon debitur memiliki kemampuan finansial yang baik untuk membayar cicilan KPR, namun memiliki tunggakan kecil di masa lalu, bank seharusnya bisa mempertimbangkan hal tersebut secara kasuistis. Dengan demikian, fokus kebijakan seharusnya tidak hanya pada nominal utang, tetapi juga pada analisis karakteristik dan riwayat kemampuan bayar nasabah secara keseluruhan.

Syarat Ketat sebagai Jalan Tengah dan Solusi

BACA JUGA : Origin Smooth Engine: Inovasi Vivo Janjikan Performa Super Mulus Hingga 5 Tahun Tanpa Lag

Melihat potensi manfaat dan risikonya, para ahli sepakat bahwa jika kebijakan ini ingin diterapkan, harus ada syarat dan batasan yang superketat. Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut kebijakan ini bisa tepat jika diposisikan sebagai “mekanisme pemulihan kredit” (de-minimis cure), bukan penghapusan massal tanpa syarat.

Ronny P Sasmita merinci empat langkah mitigasi risiko yang harus pemerintah lakukan:

  1. Batasan Kriteria yang Tegas: Kebijakan ini harus dibatasi hanya untuk MBR yang mengajukan KPR subsidi untuk rumah pertama mereka.
  2. Bersifat Final: Pemerintah harus menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku satu kali dan tidak akan diulang, untuk mencegah timbulnya ekspektasi di masa depan.
  3. Integrasi Data: Data keuangan dan perumahan harus terintegrasi dengan baik untuk memastikan penerima bantuan benar-benar layak dan bukan spekulan properti.
  4. Edukasi Publik: Pemerintah harus secara masif mengomunikasikan bahwa ini adalah langkah pemulihan, bukan pembebasan utang yang bisa diminta kapan saja.

Menimbang Keadilan Sosial dan Disiplin Fiskal

Pada akhirnya, wacana hapus utang KPR ini menempatkan pemerintah di persimpangan jalan antara keadilan sosial dan disiplin fiskal. Di satu sisi, ada lebih dari 100 ribu keluarga yang mimpinya untuk memiliki rumah terhalang oleh masalah administrasi. Membantu mereka tidak hanya bersifat humanis, tetapi juga dapat menciptakan multiplier effect yang positif bagi industri konstruksi dan turunannya. Akan tetapi, di sisi lain, ada risiko merusak budaya disiplin kredit yang telah susah payah dibangun. Keberhasilan atau kegagalan kebijakan ini akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pemerintah untuk merancang aturan main yang ketat, transparan, dan diawasi dengan cermat.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %