Retconomynow.com – 17 Oktober 2025 – Di tengah puing-puing kehancuran akibat perang yang berlangsung hampir dua tahun, Pemerintah Palestina hari ini mengumumkan sebuah rencana ambisius untuk masa depan Gaza. Perdana Menteri Mohammad Mustafa secara resmi meluncurkan cetak biru rekonstruksi Gaza tiga tahap. Rencana ini diperkirakan menelan biaya fantastis sebesar 67 miliar dolar AS (sekitar Rp1.111 triliun) dan dirancang untuk berjalan selama lima tahun. Pengumuman ini disampaikan di hadapan para diplomat dan perwakilan lembaga internasional, menandai sebuah langkah maju yang signifikan dalam upaya membangun kembali wilayah yang luluh lantak.
Tiga Tahap Pemulihan: Dari Bantuan Kemanusiaan hingga Pembangunan Jangka Panjang
BACA JUGA : Biaya Visa H-1B Picu Kepanikan, Warga India Jadi Target Sabotase Daring
PM Mustafa menguraikan bahwa rencana ini telah mereka kembangkan secara cermat. Pemerintahannya bekerja sama dengan para ahli dari Arab dan komunitas internasional. Rencana ini terbagi menjadi tiga fase yang saling berkesinambungan, masing-masing dengan fokus dan alokasi anggaran yang spesifik.
Fase Pertama (6 Bulan): Fokus Kemanusiaan Mendesak Tahap awal ini akan berfokus pada kebutuhan yang paling mendesak. Faktanya, prioritasnya adalah bantuan kemanusiaan dan perbaikan infrastruktur vital. Tahap ini akan berlangsung selama enam bulan dengan alokasi dana sebesar 3,5 miliar dolar AS. Dana ini akan digunakan untuk menyediakan tempat tinggal sementara, memulihkan pasokan air bersih dan listrik, serta memastikan layanan kesehatan darurat dapat kembali berfungsi.
Fase Kedua (3 Tahun): Rekonstruksi Infrastruktur Utama Setelah itu, tahap kedua akan berjalan selama tiga tahun. Fase ini akan menjadi inti dari proses pembangunan kembali. Dengan anggaran sebesar 30 miliar dolar AS, pemerintah akan fokus pada pembangunan kembali perumahan, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik lainnya yang hancur. Selain itu, tahap ini juga mencakup program pemulihan ekonomi untuk menghidupkan kembali sektor-sektor usaha lokal yang lumpuh.
Fase Ketiga: Pemulihan Jangka Panjang Pada akhirnya, tahap terakhir akan menyempurnakan seluruh proses. Fase ini berfokus pada penyelesaian rekonstruksi Gaza dan pemulihan jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan dan ketahanan wilayah tersebut di masa depan.
Menanti Dukungan Internasional dan Peran Mesir
BACA JUGA : Taktik Baru Rusia: Siasat Tim Kecil Guncang Pertahanan Ukraina
Tentu saja, rencana sebesar ini tidak dapat terwujud tanpa dukungan finansial dari dunia internasional. PM Mustafa menyatakan bahwa pembicaraan dengan para mitra internasional sedang berlangsung secara intensif. Tujuannya adalah untuk mengamankan sumber daya yang dibutuhkan. Lebih lanjut, ia mengumumkan bahwa sebuah konferensi rekonstruksi besar akan digelar di Mesir. Konferensi ini akan diadakan satu bulan setelah perang secara resmi berakhir, menjadi ajang bagi negara-negara donor untuk menunjukkan komitmen mereka.
Akan tetapi, PM Mustafa juga memberikan syarat yang tegas kepada Israel. Menurutnya, semua upaya rekonstruksi akan sia-sia jika Israel tidak memenuhi kewajibannya. “Israel harus menarik diri dari Gaza, membuka perlintasan perbatasan, dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan serta material rekonstruksi,” tegasnya.
Isu Krusial Tata Kelola Gaza Pasca-Perang
BACA JUGA : Tragedi Siswi SMA Ditikam di Malaysia, PM Anwar Soroti Pengaruh Media Sosial
Salah satu isu paling sensitif dalam diskusi mengenai masa depan Gaza adalah soal siapa yang akan memerintah. Menanggapi tekanan dari berbagai pihak, PM Mustafa mengambil sikap yang sangat tegas. Ia menolak segala persyaratan eksternal terkait tata kelola di Gaza. “Kami tidak meminta jaminan dari siapa pun atas tata kelola Gaza,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa Otoritas Palestina (PA), yang saat ini memerintah Tepi Barat, memiliki niat dan kapasitas untuk memperluas kewenangannya atas Gaza. Hal ini akan mereka lakukan setelah kondisi memungkinkan. Ia juga menepis kekhawatiran adanya perpecahan internal Palestina mengenai masalah ini. Sebaliknya, Israel secara konsisten menentang peran apa pun bagi Otoritas Palestina maupun Hamas dalam memerintah Gaza setelah perang. Meskipun demikian, PM Mustafa menegaskan kembali bahwa PA memandang Gaza sebagai bagian tak terpisahkan dari negara Palestina dan bekerja “siang dan malam” untuk memulihkan tata kelola atas wilayah tersebut.
Konteks Gencatan Senjata dan Tuntutan Hamas
BACA JUGA : Warga Korea Selatan Hilang di Kamboja, Jebakan Pusat Penipuan Picu Krisis
Rencana rekonstruksi Gaza ini diumumkan di tengah situasi gencatan senjata yang rapuh. Perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas dicapai pekan lalu, berdasarkan rencana yang diajukan oleh Presiden AS Donald Trump. Tahap pertama dari perjanjian tersebut telah selesai, mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina.
Kini, semua pihak menantikan dimulainya negosiasi tahap kedua yang diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari. Namun, jalan menuju perdamaian permanen masih terjal. Hamas memiliki tuntutan yang sangat fundamental. Mereka menuntut diakhirinya perang secara total, penarikan penuh pasukan Israel dari seluruh wilayah Gaza, dan hak untuk mempertahankan persenjataan mereka. Tuntutan-tuntutan ini kemungkinan besar akan menjadi batu sandungan utama dalam negosiasi. Akibatnya, nasib jutaan warga Gaza dan masa depan rekonstruksi masih berada dalam ketidakpastian.
Skala Kerusakan: Potret Gaza yang Hancur
BACA JUGA : Trump Umumkan Akhir Konflik Gaza, Hadiri KTT Perdamaian Mesir
Penting untuk mengingat skala kehancuran yang melatarbelakangi rencana ini. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, hampir 68.000 warga Palestina di Gaza telah tewas. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Serangan tanpa henti selama hampir dua tahun telah membuat sebagian besar wilayah kantong tersebut tidak lagi layak huni. Infrastruktur hancur, rumah-rumah menjadi puing, dan krisis kemanusiaan mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Angka-angka inilah yang menjadi pengingat bisu tentang betapa mendesaknya upaya rekonstruksi Gaza ini.
