Retconomynow.com – 16 Oktober 2025 – Presiden Prabowo Subianto mengumumkan sebuah reformasi radikal dalam sejarah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan, ia secara resmi membuka pintu bagi warga negara asing (WNA) untuk memimpin perusahaan-perusahaan pelat merah. Kebijakan yang mengizinkan WNA pimpin BUMN ini ia umumkan dalam sebuah forum internasional. Selain itu, keputusan ini dibarengi dengan rencana perampingan masif jumlah BUMN. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemerintah serius untuk merombak total tata kelola BUMN agar mampu bersaing di level global.
Pengumuman Bersejarah di Forbes Global CEO Conference
Presiden Prabowo menyampaikan pengumuman bersejarah ini saat berdialog dengan Chairman Forbes Media, Steve Forbes. Ia berbicara di perhelatan Forbes Global CEO Conference 2025 di Jakarta. Di hadapan para pemimpin bisnis dari seluruh dunia, Prabowo secara tegas menyatakan bahwa ia telah mengubah regulasi lama. Regulasi tersebut sebelumnya mengharuskan pimpinan BUMN berasal dari Warga Negara Indonesia (WNI).
“Saya sudah mengubah regulasinya. Sekarang ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita,” ujar Prabowo dengan penuh semangat. Faktanya, pernyataan ini bukan sekadar wacana. Ini adalah sebuah deklarasi kebijakan yang sah. Hal ini menandakan bahwa proses rekrutmen direksi BUMN di masa depan akan bersifat terbuka secara global.
Visi di Balik Kebijakan WNA Pimpin BUMN: Mengejar Standar Internasional
Langkah kontroversial ini tentu memiliki alasan yang sangat mendasar. Presiden Prabowo ingin memastikan pengelolaan BUMN benar-benar sesuai dengan standar bisnis internasional. Oleh karena itu, ia ingin BUMN tidak lagi dijalankan dengan cara-cara lama yang terbelenggu oleh birokrasi. Untuk mencapai visi ini, ia memberikan mandat yang sangat jelas kepada Danantara (lembaga pengelola BUMN).
“Saya sampaikan kepada manajemen Danantara untuk menjalankannya dengan standar bisnis internasional,” tutur Prabowo. “Kalian bisa mencari otak-otak terbaik, talenta-talenta terbaik.” Pesan ini mengisyaratkan bahwa kriteria utama bukanlah lagi kebangsaan. Kriteria itu adalah kompetensi, rekam jejak, dan kemampuan. Dengan demikian, kebijakan WNA pimpin BUMN ini adalah upaya untuk mengakses kolam talenta yang jauh lebih luas.
Pilar Kedua Reformasi: Rencana Perampingan Ratusan BUMN
Kebijakan kepemimpinan asing ini adalah satu dari dua pilar utama reformasi BUMN. Pilar kedua, yang tak kalah radikal, adalah rencana untuk merasionalisasi jumlah perusahaan BUMN secara drastis. Selama ini, jumlah BUMN dianggap terlalu banyak dan tidak efisien. Justru, banyak yang tumpang tindih dalam operasinya.
“Jadi, saya sudah memberikan arahan kepada ketua Danantara untuk merasionalisasi semuanya,” beber Prabowo. “Mengurangi dari 1.000 BUMN mungkin menjadi angka yang lebih rasional, mungkin 200 atau 230.” Rencana perampingan ini bertujuan menciptakan BUMN yang lebih ramping dan fokus pada bisnis intinya. Akibatnya, pemerintah berharap perusahaan yang tersisa akan menjadi entitas bisnis yang jauh lebih sehat.
Meningkatkan Imbal Hasil: Logika di Balik Efisiensi
Presiden Prabowo sangat yakin kombinasi dua kebijakan besar ini akan meningkatkan profitabilitas BUMN. Selama ini, imbal hasil BUMN kepada negara seringkali dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan total aset mereka. Akan tetapi, banyak BUMN yang justru merugi dan menjadi beban bagi keuangan negara.
“Jadi, saya yakin imbal hasil 1 persen atau 2 persen bisa meningkat, harus meningkat,” imbuh Prabowo. Logikanya sederhana. Pemimpin terbaik dan perusahaan yang efisien akan lebih berorientasi pada laba. Pada akhirnya, BUMN diharapkan dapat beroperasi layaknya korporasi swasta global.
Tantangan dan Kontroversi Implementasi Kebijakan WNA Pimpin BUMN
Meskipun demikian, kebijakan ini bukannya tanpa potensi tantangan dan kontroversi. Gagasan WNA pimpin BUMN kemungkinan besar akan menuai perdebatan sengit di dalam negeri. Argumen nasionalisme, yang mempertanyakan talenta lokal, pasti akan mengemuka. Selain itu, akan ada kekhawatiran mengenai potensi kesenjangan gaji yang sangat besar antara direksi asing dan karyawan lokal.
Tantangan lainnya adalah soal adaptasi budaya. Seorang pemimpin asing, sehebat apa pun rekam jejaknya, harus mampu memahami nuansa budaya kerja di Indonesia. Kegagalan dalam beradaptasi bisa membuat kepemimpinan mereka tidak berjalan mulus. Proses seleksi talenta asing ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Keberhasilan reformasi radikal ini akan bergantung sepenuhnya pada eksekusi yang cermat dan pengawasan yang ketat.
