Nasib PPPK: Janji Setara yang Terhenti di Atas Kertas

Nasib PPPK
0 0
Read Time:3 Minute, 15 Second

Retconomynow.com – 15 Oktober 2025 – Ketika pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sebuah harapan baru bersemi di kalangan birokrasi. Undang-undang itu secara tegas menyatakan bahwa ASN terdiri atas PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang setara dalam prinsip dan penghargaan. Namun, seperti banyak janji negara lainnya, kesetaraan itu berhenti di atas kertas. Realitas di lapangan menunjukkan wajah yang berbeda. Nasib PPPK masih terkatung-katung sebagai warga kelas dua dalam sistem birokrasi. Mereka direkrut melalui seleksi ketat, menanggung beban kerja yang sama, namun tidak menikmati kepastian karier dan jaminan hari tua yang layak.

Realitas Pahit di Balik Status “ASN”

Sebagian besar PPPK adalah para pengabdi lama. Mereka adalah guru, tenaga kesehatan, dan staf teknis yang sebelumnya berstatus honorer dengan gaji seadanya. Formasi PPPK seharusnya menjadi jawaban atas ketidakpastian hidup mereka. Akan tetapi, setelah diangkat, mereka justru terjebak dalam sistem yang belum siap. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2024 memang memperbarui struktur gaji dan tunjangan. Sayangnya, implementasinya di banyak daerah tersendat. Pemerintah daerah kesulitan membayar gaji PPPK karena alokasi belanja pegawai yang sudah melampaui batas 30 persen APBD.

Perbedaan perlakuan juga sangat kentara dalam jenjang karier. Seorang PNS dapat berpindah antarinstansi dan naik pangkat. Sebaliknya, PPPK terikat pada kontrak dan lokasi kerja yang evaluasinya bergantung pada perpanjangan tahunan. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 sebenarnya sudah membuka ruang mutasi. Meskipun demikian, dalam praktiknya, sistem birokrasi belum siap. Banyak instansi tidak memiliki mekanisme untuk itu, sehingga PPPK tetap terkungkung. Ironisnya, di banyak sekolah dan puskesmas, PPPK justru menanggung beban kerja yang lebih berat.

Revisi UU ASN: Ujian Keseriusan Negara

Revisi UU ASN yang kini sedang bergulir di DPR menjadi ujian keseriusan negara. DPR mendorong beberapa gagasan besar untuk menuntaskan ironi ini. Contohnya, menyetarakan hak pensiun PPPK dengan PNS, memperpanjang masa kontrak, dan membuka peluang alih status bagi mereka yang berprestasi. Namun, pemerintah menanggapinya dengan sangat hati-hati. Alasan klasik yang selalu muncul adalah kekhawatiran terhadap beban fiskal.

Pemerintah memperkirakan butuh tambahan sekitar Rp 18 triliun per tahun jika hak pensiun disetarakan penuh. Solusi yang kini mereka bahas adalah skema pensiun berbasis iuran bersama. Padahal, masalah kesetaraan ini bukan sekadar soal angka. Ini adalah soal penghargaan atas pengabdian. Jika negara mampu menanggung ratusan triliun untuk proyek ambisius, mengapa jaminan masa depan bagi aparatur dianggap beban?

Wajah Ganda Birokrasi dan Dampaknya pada Nasib PPPK

Ketimpangan ini menggambarkan wajah ganda birokrasi Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berbicara lantang tentang meritokrasi. Di sisi lain, mereka masih memelihara sistem hierarkis yang menilai pegawai dari status, bukan dari prestasi. Bagi sebagian kepala daerah, PPPK bukan mitra profesional, melainkan sekadar tenaga kontrak yang nasibnya bisa bergantung pada kepentingan politik lokal.

Laporan Ombudsman RI tahun 2024 bahkan mencatat adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan kontrak PPPK di sejumlah daerah. Kesenjangan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga merusak semangat reformasi birokrasi. PNS mendapat penghargaan simbolik sebagai “abdi negara”, sedangkan PPPK sering dianggap “pekerja kontrak pemerintah”. Padahal, keduanya sama-sama melayani publik dan terikat pada sumpah jabatan yang sama.

Menagih Janji Keadilan yang Sebenarnya

Keadilan birokrasi bukan sekadar tabel gaji atau angka tunjangan. Keadilan terukur dari bagaimana negara memperlakukan setiap pegawainya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam konteks nasib PPPK, keadilan berarti memberikan kepastian hukum, perlindungan sosial, dan ruang karier yang adil. Negara perlu membangun sistem jaminan pensiun yang modern dan berkelanjutan. Skema pensiun berbasis iuran bisa menjadi jalan tengah antara kemampuan fiskal dan kewajiban moral.

Selain itu, fungsi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus diperkuat, bukan dilemahkan. Pengawasan merit perlu terjaga agar pengangkatan dan mutasi PPPK tidak terjebak dalam politik patronase. Revisi UU ASN semestinya menjadi momentum koreksi moral. Setiap aparatur, apa pun status hukumnya, layak mendapat perlakuan yang adil. Harapan PPPK kini bertumpu pada keberanian politik pemerintah dan DPR. Publik birokrasi menunggu bukti, bukan lagi janji. Pada akhirnya, jika kesetaraan hanya menjadi retorika, maka yang gagal bukanlah undang-undangnya, melainkan nurani negara yang kehilangan rasa adilnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %